Jumat, 21 November 2008

KOMPETENSIKEPALA SEKOLAH

MEMBANDINGKAN PROGRAM PEMENTORAN DANPROGRAM KEMITRAAN YANG KEDUANYABERFUNGSI UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSIKEPALA SEKOLAH
Siusana KweldjuUniversitas Negeri MalangAbstrak
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menunjukkan pentingnya program pementoran kepala sekolah dalam mempersiapkan seorang kepala sekolah baru, dan dalam hal tertentu juga untuk meningkatkan kompetensi seorang kepala sekolah yang bertugas. Di Indonesia, kita mengenal Program Kemitraan yang berakar dari program pementoran. Namun, ada perbedaan di antara keduanya. Artikel ini juga bertujuan untuk menunjukkan perbedaan-perbedaan pementoran yang ada di beberapa negara yang berbeda. Selain itu, dibahas juga mengapa pementoran atau program kemitraan memang dibutuhkan, apa yang dipelajari, beserta keuntungan, kerumitan, dan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan program pementoran.
Kata kunci: pementoran, kemitraan, perkepalasekolahan.
PENDAHULUAN
Artikel ini ditulis untuk melihat model dan pelaksanaan program pementoran kepala sekolah atau program induksi yang terjadi di negara lain, yang dapat dibandingkan dengan Program Kemitraan Kepala Sekolah yang dilaksanakan di Indonesia. Program Kemitraan Kepala Sekolah di Indonesia telah berlangsung sebanyak enam angkatan yang melibatkan 596 sekolah unggul dan 901 sekolah imbas. Sebenarnya istilah kemitraan atau partnership tidak saja digunakan di Indonesia, tetapi juga digunakan di negara lain; misalnya, di negara bagian Northern Colorado, Amerika Serikat. Hanya saja, modelnya berbeda (Whitaker, 2006). Istilah lain yang juga digunakan adalah program induksi, seperti yang digunakan di negara bagian Alabama, Missisipi dan South Carolina, AS. Namun, program induksi di Alabama itu diperuntukkan kepada mahasiswa program master yang mempersiapkan diri untuk menjadi kepala sekolah (Petzko, 2004).
Makna pementoran yang terjadi di negara lain biasanya melibatkan secara eksplisit, dua orang kepala sekolah; yang satu adalah kepala sekolah yang berpengalaman dan yang lebih berhasil; dan yang lain adalah kepala sekolah yang masih baru atau yang masih mempersiapkan diri untuk menjadi kepala sekolah. Program Kemitraan yang ada di Indonesia lebih mendahulukan kesetaraan sehingga tidak ada pernyataan tentang adanya mentor atau pamong dan protégé atau pemagang, atau pembimbingan dari kepala sekolah yang lebih berpengalaman kepada kepala sekolah yang sedang belajar. Oleh karena itu, istilah yang digunakan adalah kemitraan bukan pementoran, yang mengasumsikan bahwa dua kepala sekolah yang bermitra dapat saling belajar dan belajar bersama-sama. Yang berbeda dari dua kepala sekolah tersebut adalah kualitas sekolah yang dipimpinnya. Yang satu adalah sekolah yang lebih maju dan disebut sekolah unggul, dan yang lain adalah sekolah yang sedang berada dalam proses untuk menjadi sekolah unggul dan disebut sekolah imbas. Memang pada praktiknya kepala sekolah dari sekolah unggul berfungsi sebagai model bagi kepala sekolah sekolah imbas, karena ada pernyataan yang menghendaki bahwa sekolah unggul adalah sekolah yang kepala sekolahnya memiliki track record yang berkualitas dalam memimpin, mengelola dan membina sekolah yang bermutu, sedangkan tidak ada persyaratan yang sama bagi sekolah imbas.
KEPALA SEKOLAH ADALAH PEMIMPIN PENGAJARAN
Perubahan zaman yang semakin cepat menyebabkan seseorang yang ingin maju dan yang ingin lebih banyak berkontribusi kepada masyarakatnya perlu menanggapi perubahan itu dengan lebih cerdas dan tanggap. Dia perlu memiliki keterampilan-keterampilan yang inovatif dan yang lebih bermanfaat. Dalam kondisi yang seperti ini, manajemen sekolah semakin diharapkan berbasis sekolah. Dengan demikian, peran kepala sekolah semakin menentukan dalam kemajuan sekolah, peningkatan mutu pendidikan, dan juga sejauh mana dia dapat menjadi pelopor dalam menghantarkan anak didiknya menjadi sumber daya manusia yang dapat diperhitungkan di masyarakat yang semakin membingungkan dan sarat dengan tuntutan-tuntutan. Kepala sekolah adalah pemimpin pengajaran (instruksional) di masyarakat. Dia yang mengarahkan sekolah untuk memfokuskan diri pada pengajaran, memberikan arahan pada kurikulum, dan memberikan kepemimpinan kepada guru.
Sekalipun kepala sekolah memiliki peran yang sangat penting bagi mutu pendidikan, hingga beberapa tahun yang lalu, setelah dilakukan penelitian di beberapa negara maju, Hickcox (2002) menemukan bahwa kompetensi kepala
sekolah belum mendapatkan perhatian yang cukup. Lee, et al. (2000) juga mendapatkan bahwa kepala sekolah belum cukup akuntabel dan masih memimpin secara paternalistik. Timbullah sebuah pertanyaan, siapakah yang dapat memimpin sekolah kita di abad ke-2 1, terutama untuk menghantarkan siswa kita sekarang menjadi sumber daya manusia 30 tahun mendatang?.
Keterbatasan pada kompetensi kepala sekolah perlu segera diatasi, karena keberhasilan sebuah sekolah tak dapat dipisahkan dari kepemimpinan yang ada di sekolah tersebut (Sergiovanni, 1991). Upaya memang telah dilakukan dengan pelatihan-pelatihan bagi mereka yang akan menjadi kepala sekolah. Pelatihan­pelatihan dilakukan pula pada yang baru menjadi kepala sekolah, dan mereka yang sudah berpengalaman menjadi kepala sekolah. Namun, pelatihan-pelatihan itu di banyak negara masih bersifat informal, ad hoc, dan dengan pendekatan yang tak terkoordinasi. Pelatihan untuk kepala sekolah di zaman yang cepat berubah ini perlu lebih intensif dan terpadu. Bahkan dibutuhkan juga sebuah pusat jaringan kepemimpinan internasional bagi kepala sekolah sehingga pusat ini dapat membantu kepala sekolah untuk belajar dan berkembang (Bush & Jackson, 2002). Jaringan internasional ini sekarang sudah terbentuk bagi kepala sekolah di Asia Tenggara, yaitu pada saat diselenggarakannya Roundtable Meeting II of ASEAN Education leaders di Bali pada tanggal 28-29 November 2007. Direktur Tenaga Kependidikan Direktorat Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Republik Indonesia sebagai ketuanya.
Salah satu cara untuk mempersiapkan kepala sekolah adalah dengan pementoran secara terstruktur. Mula pertama pementoran sebenarnya bukan terjadi pada bidang perkepalasekolahan. Singapura, misalnya, bahkan memiliki seorang menteri mentor, yang tidak lain adalah pendiri negara itu sendiri, Lee Kuan Yew. Pementoran sudah dikenal sebagai cara untuk mengembangkan keprofesionalan seorang eksekutif dan juga sebagai cara untuk mengembangkan sebuah organisasi. Keterampilan untuk menjadi mentor yang baik adalah juga wujud dari kepemimpinan seorang kepala sekolah terhadap para guru dan tenaga kependidikan lainnya di sekolah yang dipimpinnya. Sistem pementoran telah berlangsung di negara-negara maju, seperti Australia, Amerika Serikat, Singapura, Inggris, dan Selandia Baru.
PEMENTORAN
Makna Pementoran
Kata mentor bermula dari nama seorang tokoh yang bernama Mentor dalam epik Odyssey yang ditulis oleh Homer. Mentor sebagai tokoh di dalam epik tersebut
bertugas untuk menjaga, melindungi dan memberi nasihat kepada anak laki-laki Ulyssus. Berkembang dari cerita ini, pementoran adalah hubungan yang intensif antara seorang profesional yang berpengalaman dengan yang kurang berpengalaman. Hubungan ini dimaksudkan untuk memberikan bimbingan bagi pengembangan karir dan pengembangan psikososial seorang pemagang (Douglas, 1997). Pementoran adalah suatu proses yang sebenarnya tak terelakkan bagi siapa pun yang ingin maju. Seorang juara dunia pun membutuhkan seorang pelatih. Pada dasarnya dalam pementoran protégé atau pemagang akan mempelajari bahwa kepemimpinan itu sebenarnya adalah gabungan dari strategi dan karakter (Knuth & Banks, 2006). Namun, pementoran bukan sekedar pelatihan. Pelatihan biasanya memiliki lingkup yang lebih sempit dibanding pementoran dan dalam jangka waktu yang lebih pendek.
Pementoran formal merupakan kegiatan praktek pengalaman lapangan yang menjadi bagian dari sebuah program pendidikan yang dilaksanakan oleh sebuah perguruan tinggi. Dengan demikian, pementoran merupakan pendekatan yang terstruktur dan terkoordinasi yang memungkinkan setiap individu, baik mentor maupun protégé sepakat untuk terlibat dalam hubungan pribadi yang kerahasiaannya terjaga, dalam rangka mempersiapkan pengembangan dan pertumbuhan profesional, dan menciptakan lingkungan yang dapat mendukung perkembangan pribadi (Hansfort et al., 2003).
Pementoran tidak sama dengan bantuan atau penutoran yang dilakukan oleh sejawat, karena pementoran adalah wahana pengembangan yang melibatkan seorang mentor yang memang memiliki pengalaman, pengaruh dan prestasi yang jauh lebih tinggi dari protégé. Kepala sekolah mentor bagi seorang kepala sekolah protégé biasanya dipilih dari sekolah yang keadaannya mirip dengan sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah protégé tersebut. Kemiripan lingkungan sekolah ini memungkinkan bagi seorang protégé untuk membangun dialog yang otentik, dan terbentuknya proses refleksi pribadi dengan maksimal. Di sini letak perbedaaan program pementoran dan kemitraan. Program Kemitraan lebih berpusat pada sekolah, bukan pada kepala sekolahnya; artinya dua kepala sekolah yang bermitra berasal dari dua sekolah dengan kondisi yang berbeda, yaitu yang unggul dan yang dalam proses untuk menjadi unggul. Dengan demikian, diharapkan dapat terjadi percepatan bagi terbentuknya sekolah unggul yang baru.
Pementoran bertujuan untuk membangun keterampilan seorang praktisi dengan mendalam. Seorang kepala sekolah tidak hanya membutuhkan pengetahuan akademik, tetapi juga keterampilan praktis, melalui pemahaman terhadap liku-liku persoalan yang terjadi di lapangan, yang hanya dapat dipelajari melalui
pementoran.Untuk pertumbuhan pribadi, pementoran membutuhkan paling sedikit enam bulan, dan untuk perubahan organisatoris yang sistematik dibutuhkan upaya minimal tiga hingga lima tahun.
Sullivan–Brown (2002) menggarisbawahi bahwa upaya yang hanya dilakukan pada permukaan saja bukanlah pementoran. Bila seseorang tahu benar bagaimana mengelola keuangan, paham tentang perilaku organisasi, membuat perencanan strategis, menjalankan resolusi konflik, melakukan relasi interpersonal atau komunikasi, belum tentu dia dapat memimpin dengan baik. Seorang pemimpin perlu memiliki kemampuan dalam menangani konflik-konflik kepentingan dan harapan dalam kondisi yang rumit dan sulit diprediksi dengan bijaksana dan sehat.
Jenis Pementoran
Ada dua jenis pementoran, yaitu pementoran untuk sosialisasi profesi dan untuk sosialisasi organisasi. Pementoran dalam proses sosialisasi profesi terjadi pada saat seseorang mempelajari bagaimana menjadi kepala sekolah. Proses ini dilakukan sebelum pengangkatan. Sebaliknya, pementoran untuk sosialisasi organisasi terjadi pada saat seseorang mempelajari tentang pengetahuan, nilai-nilai dan tingkah laku yang dibutuhkan untuk menjalankan peran khusus dalam sebuah organisasi (Weindling & Dimmock, 2006).
Hal-hal yang dipelajari dalam proses sosialisasi profesi adalah kepemimpinan, manajemen dan bagaimana menjalankan tugas-tugas manajemen, dan pemodelan. Pemodelan adalah belajar dengan mengamati apa yang dapat dicontoh dan apa yang sebaiknya tidak dicontoh.
Pementoran yang dilakukan pada masa sosialisasi organisasi adalah untuk membantu seorang pemimpin baru mempelajari seluk-beluk yang ada pada sekolah yang dipimpinnya dan juga bagaimana memperbaiki sekolahnya itu. Pada masa sosialisasi organisasi ini, seorang kepala sekolah baru ingin menampilkan tanggung jawabnya, membuat perubahan-perubahan dan melakukan hal-hal yang dapat memajukan sekolah yang dipimpinnya. Namun, pada masa ini pula seorang kepala sekolah baru mendapatkan bahwa tidak selamanya dia dapat mempengaruhi stafnya, tetapi, sebaliknya, dia yang dipengaruhi oleh stafnya. Seorang kepala sekolah membutuhkan waktu untuk membuat sekolahnya terbentuk seperti apa yang diinginkannya. Seorang kepala sekolah yang berasal dari sekolah yang sama biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membuat perubahan, dibanding kepala sekolah hasil penunjukkan dari luar.
Ada beberapa tahap masa perkembangan bagi seorang kepala sekolah. Bila pementoran dilaksanakan, sifat pementoran hendaknya disesuaikan dengan tahapan perkembangan kepala sekolah tersebut, sebagai berikut.
1. Masa persiapan yaitu masa sebelum menjadi kepala sekolah.
2. Bulan-bulan pertama yaitu masa bagi kepala sekolah dalam menemukan banyak kejutan-kejutan baru.
3. Bulan ketiga hingga bulan keduabelas yaitu masa bagi kepala sekolah dalam melakukan pemantapan dan perubahan-perubahan, dan pada masa ini staf mengalami masa bulan madu dengan kepala sekolahnya dan siap untuk berubah.
4. Tahun kedua adalah masa bagi kepala sekolah untuk dapat mengevaluasi kelebihan dan kekurangannya sendiri.
5. Tahun ketiga hingga keempat adalah masa pemurnian bagi kepala sekolah untuk membenahi kurikulum setelah membenahi banyak hal yang lainnya.
6. Tahun kelima hingga ketujuh adalah masa konsolidasi, yaitu masa bagi kepala sekolah untuk mengevaluasi segala perubahan yang telah dilakukannya.
7. Tahun kedelapan hingga kesepuluh adalah masa plato, yaitu ketika kepala sekolah sudah sulit melakukan perubahan dan kemajuan, terkecuali bila dia menjadi kepala sekolah di sekolah yang lain (Windling & Dimmock, 2006).
Kondisi Pementoran di Beberapa Negara
Sistem pementoran di Singapura telah berjalan sejak tahun 1984. Kepala sekolah di Singapura dipilih dari wakil kepala sekolah. Wakil kepala sekolah terpilih akan mengikuti program Diploma in Educational Administration (DEA) penuh waktu selama satu tahun. Di dalam program ini pementoran yang terstruktur merupakan kegiatan yang sangat penting. Kepala sekolah mentor adalah kepala sekolah terpilih yang dapat dianggap sebagai model yang baik bagi calon-calon kepala sekolah. Selama dua bulan calon kepala sekolah dicangkokkan pada sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah mentor. Selama masa tersebut protégé membayangi kepala sekolah tersebut untuk mempelajari kepemimpinannya (Lee, 2002).
Berbeda dari Singapura, yang hanya wakil kepala sekolah dapat menjadi protégé dalam masa persiapannya untuk menjadi kepala sekolah, di Inggris sejak mulai diperkenalkannya program pementoran pada tahun 1992, guru yang berpengalaman dapat mengikuti program persiapan yang dikenal sebagai National Professional Qualification for Headship untuk dipilih menjadi kepala sekolah (Hansford & Ehrich, 2005). Program ini merupakan sebuah benchmark untuk
mendapatkan jabatan kepala sekolah. Namun, program ini bukan satu-satunya program untuk mengembangkan kompetensi seorang kepala sekolah. Kepala sekolah yang baru terpilih masih harus mengikuti Headteacher Induction Program. Pementoran adalah sebagian kegiatan dan menjadi kegiatan yang penting dalam program induksi.
Dimulai sejak tahun 80-an, pementoran minimal telah berjalan di 30 negara bagian di Amerika Serikat. Misalnya, Alburquerque Public Schools’ Extra Support for Principals, the Southern Regional Education Board’s Leadership Academy, the School Leadership Initiative Program, the Richardson Mentor Program, and the Aspiring Principal Program. Pementoran di AS diberlakukan kepada kepala sekolah baru pada beberapa tahun di awal masa jabatannya. Mentor juga harus mengikuti pelatihan dengan materi manajemen konflik, perumusan tujuan, cara menjadi pendengar aktif, menerima dan memberi umpan balik yang sangat mendukung refleksi diri (Olison, 2007). Lama program bervariasi. South Carolina Principal Induction Program, misalnya, dilaksanakan selama satu tahun, dari bulan Juli hingga bulan Juni, dan mentornya dipilih oleh pengawas sekolah; sementara Alabama mengharuskan dua tahun pementoran. Dimulai sejak tahun 2003 kepala sekolah-kepala sekolah di Detroit juga harus mengikuti program pementoran untuk manajemen keuangan, selama enam jam setiap bulan. Dalam hal ini, mentor bukan kepala sekolah, tetapi akuntan yang sudah berpengalaman selama lima tahun.
Program pementoran di Australia sudah dimulai sejak tahun 90-an. Namun, hingga saat ini program-program pementoran di Australia masih bersifat ad hoc, sangat bervariasi dan belum melembaga.
Tidak Mudah Menjadi Kepala Sekolah Baru
Pementoran dibutuhkan untuk mempersiapkan seorang kepala sekolah, karena menjadi kepala sekolah baru itu tidak mudah. Seorang kepala sekolah baru akan disoroti kinerjanya. Stafnya akan selalu mengamati dan berspekulasi tentang perubahan apa yang akan dibuatnya. Bila seorang kepala sekolah baru tidak membuat perubahan monumental apa pun, stafnya akan merasa bahwa dia tidak berbuat apa-apa. Namun, ironisnya, bila seorang kepala sekolah akan membuat perubahan yang monumental, pada saat itu tidak akan ada stafnya yang benar-benar bersedia mengikuti kebijakan yang dibuatnya (Capelluti & Nye, 2004).
Beberapa masalah yang dihadapi oleh kepala sekolah baru (Wendling & Dimmock, 326) adalah sebagai berikut.
1. Kerumitan yang disebabkan oleh gaya dan praktik kepala sekolah sebelumnya.
2. Keadaan gedung sekolah.
3. Komunikasi dan konsultasi dengan staf.
4. Membangun pencitraan sekolah di masyarakat.
5. Menghadapi staf yang kurang kompeten.
6. Semangat guru dan tenaga pendidikan lain yang kurang prima.
7. Keterbatasan anggaran sekolah.
8. Implementasi kebijakan baru dari pemerintah.
Kesulitan-kesulitan semacam ini membuat seorang kepala sekolah baru mengalami kelelahan fisik dan emosional yang tinggi. Di saat awal semacam ini dia hampir tidak mungkin melakukan kegiatan-kegiatan akademik. Yang dapat dilakukannya hanya membangun relasi kepercayaan dan juga menangani kasus­kasus pelanggaran kedisiplinan (Foster, 2002).
Mentor Membangun Karakter Dasar
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat membangun kepercayaan pada mereka yang dipimpinannya. Kepercayaan ini akan terwujud bila pemimpin tersebut memiliki komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang luhur. Perkataan pemimpin tersebut sama dengan tindaknya. Karakter memiliki bobot yang lebih tinggi dibanding strategi di dalam kepemimpinan. Lebih baik seorang pemimpin itu berkarakter tanpa strategi, daripada pemimpin yang berstrategi tetapi tidak memiliki karakter, terutama kepemimpinan pada sekolah yang kompleks, yang kepemimpinan mudah sekali dipolitisir. Karakter membangun kepercayaan, dan kepercayaan yang mengikat seorang pemimpin dan yang dipimpin. Hubungan ini yang membuat setiap orang memiliki kepuasan bekerja dan terdorong untuk berkarya (Knuth & Banks, 2006).
Bila setiap guru dan tenaga kependidikan di sekolah berkarya dengan baik, sekolah itu akan terus-menerus melakukan perubahan menuju ke kesempurnaan, dan sekolah itu menjadi sekolah yang efektif dalam menciptakan kemajuan-kemajuan dalam prestasi belajar siswa. Jadi, sekolah yang efektif, bukan sekedar sekolah yang stabil, tetapi sekolah yang memprioritaskan dan mempertahankan inisiasi-inisiasi perbaikan kunci (Knuth & Banks, 2006).
Keterampilan memimpin semacam ini hanya dapat dimiliki seorang kepala sekolah setelah menempuh waktu yang lama dalam mendiagnosa kebutuhan sekolahnya dan kesiapan dari stafnya. Kepala sekolah harus mampu menganalisa apa yang dibutuhkan guru dan juga keterbatasan yang dimiliki oleh guru, karena itu pementoran memungkinkan calon kepala sekolah mempelajari diagnose yang telah dikembangkan oleh seorang kepala sekolah yang telah berpengalaman dan berhasil.
Tidak saja pemimpin yang lambat untuk merespon kebutuhan yang membuat sekolah tidak efektif, tetapi kadang-kadang seorang pemimpin yang terlalu maju, akan membuat dirinya berjarak terlampau jauh dari guru yang dipimpinnya. Akibatnya, guru yang terbatas kemampuannya akan menjadi semakin frustrasi bila tidak mendapatkan bimbingan khusus untuk mengikuti arahan kepala sekolah.
Mentor Membangun Kompetensi Kepemimpinan
Dalam masa pementoran sebenarnya yang diharapkan dari seorang protégé adalah mempelajari bagaimana seorang kepala sekolah perlu menyiasati antara mengelola dan memimpin, juga bagaimana mengatasi permasalahan yang timbul karena adanya keterbatasan sumber daya dan permintaan yang tak kunjung berakhir, dan membangun budaya untuk perbaikan sekolah. Seorang mentor adalah kepala sekolah yang telah cukup berpengalaman mengatasi konflik yang sering muncul karena harapan-harapan yang saling bertentangan. Tahun-tahun pertama sebuah kepemimpinan selalu ditandai dengan kecemasan, frustrasi dan keragu-raguan. Bila seorang kepala sekolah tidak dapat mengatasi persoalan ini dia akan terus mengalami frustrasi tersebut, karena pada dasarnya persoalan itu akan terus berdatangan tanpa akhir. Seorang mentor diharapkan memiliki kekreatifitasan yang tinggi sehingga dia dapat membimbing protégé untuk memiliki keterampilan menghadapi persoalan-persoalan tersebut secara bertanggung jawab, asertif, dan banyak terlibat.
Dalam pengambilan keputusan sehari-hari, seorang kepala sekolah dihadapkan kepada pilihan yang mana yang harus dikedepankan. Stres sering menjadi persoalan utama. Bila kepala sekolah menuruti keinginan kantor dinas, mungkin dia akan mendapat protes keras dari para guru, dan bila mendengarkan guru, dia akan kehilangan hubungan baik dengan kantor dinas. Persoalan lain adalah bahwa setiap orang mengharapkan adanya reformasi, tetapi dalam pelaksanaannya tidak seorang pun siap berubah. Seorang kepala sekolah yang baik memiliki kiat yang tepat dalam menghadapi ekspektansi yang beragam ini dengan menggunakan semua sumber daya yang ada (Goens, 1998).
Seorang kepala sekolah akan sepenuhnya menyadari tentang sumber-sumber harapan yang dapat mempengaruhi kepemimpinannya. Wali murid sebagai sumber pengharapan pun sudah cukup rumit untuk dilayani, karena setiap wali murid dapat memiliki harapan yang berbeda pula. Begitu pula dengan seorang pengawas yang ada sekarang dapat memiliki harapan yang berbeda dari pengawas sebelumnya, dan seterusnya. Harapan dari masyarakat juga menyumbang kerumitan lain, karena keragaman anggota masyarakat yang berbeda menurut kultur, ekonomi, keyakinan
dan kebiasaan lainnya. Seorang kepala sekolah yang belum memiliki kepemimpinan yang tepat akan terus mengalami kesulitan dalam mengatasi harapan-harapan ini secara utuh. Dia hanya akan mengatasi bagian per bagian dari struktur sekolah yang ada, dan ada juga yang mudah menyerah dan tidak melakukan tindakan apa pun juga. Sumber-sumber pengharapan itu dapat digambarkan seperti gambar berikut.
Pemerintah
Pengawas Masyarakat
KepalaSekolah
Guru Orang tua

Siswa
Gambar Sumber-sumber Harapan yang Mempengaruhi Kepala Sekolah
Seorang protégé perlu mengalami sendiri bagaimana untuk menjadi seorang kepala sekolah yang efektif supaya nantinya mampu mengatasi persoalan-persoalan yang muncul dalam sekolah yang dipimpinnya. Kepala sekolah yang efektif perlu memiliki percaya diri, menyadari kekuatan yang dimilikinya, mampu membuat keputusan yang sulit, dan tidak sekedar menyenangkan setiap orang atau sebagian orang, memiliki keterampilan berkomunikasi, dan mampu mengembangkan keterampilan manajerial yang baik. Setiap saat seorang kepala sekolah perlu mengembangkan nilai-nilainya, yakin dengan tujuan yang akan dicapainya, cakap dapat menganalisis situasi, jujur dan jelas dalam berbahasa, tidak takut menghadapi konflik, dan tidak mencari kambing hitam. Dia juga cakap menggunakan intuisinya untuk melihat kesempatan-kesempatan baru, membuat skenario, dan melihat kekuasaan bukan untuk menguasai dan mengontrol, tetapi sebagai energi untuk membangun keteraturan. Menguasai itu menciptakan pembungkaman, dan pengontrolan itu menciptakan kelumpuhan. Sebaliknya, energi itu menciptakan kreatifitas, karena energi terbangun di atas sebuah wacana tentang gagasan-gagasan, dan relasi kemanusiaan (Goens, 1998). Untuk memiliki kompetensi yang semacam ini seorang calon kepala sekolah perlu belajar bagaimana memiliki tingkah laku yang efektif menurut Casavant & Cherkowski, 2001) adalah sebagai berikut.
1. Mendengarkan dan dapat merasakan apa yang dirasakan staf dan siswa.
2. Membangun hubungan batin dengan staf dan siswa.
3. Tampak terlibat di sekolah dan masyarakat.
4. Dapat didekati.
5. Menghargai kerahasiaan dan profesionalisme.
6. Memberdayakan, dan memberikan penghargaan kepada orang lain.
7. Mendorong staf dan kepemimpinan siswa.
8. Berkomunikasi dengan frekuensi yang cukup dan baik.
9. Memastikan terjalinnya lingkungan yang aman.
10. Memiliki kebijakan yang konsisten.
11. Memiliki visi yang jelas bagi tujuan sekolah.
12. Terorganisir dengan baik.
13. Mendahulukan siswa.
14. Menjadi pemimpin dalam pengajaran.
15. Mengharapkan dan meningkatkan pertumbuhan.
16. Siap mengambil resiko.
17. Memiliki kebijakan pintu terbuka.
18. Mendelegasikan tugas secara efektif.
19. Mengakui keberhasilan orang lain.
20. Meningkatkan kebanggaan sekolah.
21. Mengatasi persoalan dengan segera.
23. Melakukan refleksi diri.
24. Memimpin dengan memberi contoh.
25. Terlibat dalam pengembangan professional.
26. Tidak banyak meninggalkan sekolah.
27. Bersifat adil.
28. Tidak haus kekuasaan.
Keuntungan dan Permasalahan dalam Pementoran
Dari temuan di Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan Singapura didapatkan bahwa pementoran sangat berarti dalam membangun dukungan, empati, konseling, bertukar pikiran dan penyelesaian masalah, pengembangan profesionalisme, peningkatan rasa percaya diri, kesempatan untuk melakukan refleksi, kesempatan untuk membangun jaringan, mendapat umpan balik, mengelakkan isolasi, membangun kepercayaan dan saling menghormati (Hansforth dan Ehrich, 2006).
Pementoran tidak saja berguna bagi protégé, tetapi juga berguna bagi kepala sekolah mentor. Dalam hal ini kepala sekolah mentor pun dapat melakukan refleksi dan mempertajam keterampilannya sendiri. Dengan membantu protégé, seorang mentor akan lebih memiliki rasa percaya diri dan semakin bersungguh-sungguh
dalam berkarya, yang kemudian sangat bermanfaat bagi guru dan siswa di sekolahnya sendiri (Hopkins-Thompson, 2000).
Namun demikian, keberhasilan pementoran juga sangat ditentukan oleh perencanaan, model yang digunakan dan juga pelaksanaannya. Ada juga masalah dalam pementoran, sekalipun mentor telah dipilih melalui tahapan seleksi. Bila di Singapura mentor adalah benar-benar terseleksi dari kepala sekolah yang masih bertugas, di Amerika Serikat mentor diseleksi dari mantan kepala sekolah. Persoalan yang mungkin timbul dalam pementoran bagi protégé adalah tidak adanya kecocokan dalam keahlian dan perangai, terbatasnya waktu mentor, konflik yang muncul karena tingginya tuntutan dari mentor, dan tingginya kekritisan mentor. Permasalahan yang dirasakan oleh mentor adalah keterbatasan waktu yang mereka miliki untuk menjalankan perannya, ketidakcocokan perangai dan minat, keterampilan protégé dalam menyimak, beban kerja tambahan dan tanggung jawab, membangun komunikasi awal, tuntutan dari pemerintah, frustrasi dengan sikap prostégé.
Faktor-faktor Keberhasilan Program Pementoran
Program pementoran perlu dilaksanakan dengan perencanaan yang matang dengan komitmen organisatoris. Dibutuhkan juga rumusan yang jelas bagi perubahan tingkah laku yang akan dicapai dan juga peran seorang mentor. Umpan balik perlu diberlakukan. Dalam pelaksanaannya, keberhasilan pementoran menurut Hopkins-Thompson (2000) tergantung pada faktor-faktor berikut ini.
1. Pendukung organisatoris: sejauh mana seorang pengawas sekolah mengamati dan memberi masukan bagi pelaksanaan program pementoran.
2. Outcome yang jelas: tujuan yang akan dicapai perlu dispesifikasikan ke dalam pengetahuan dan keterampilan yang akan dicapai.
3. Pemilihan dan pemasangan mentor dan protégé sangat menentukan. Seorang mentor adalah seseorang yang sangat terampil dalam berkomunikasi, mendengar, menganalisis, memberikan umpan balik dan bernegosiasi. Protégé juga seorang yang benar-benar bermotivasi untuk maju. Pemasangan mentor-protégé dapat merupakan hasil dari pilihan protégé itu sendiri, atau menurut persamaan minat yang dapat ditemukan di antara keduanya.
4. Mentor dan protégé perlu mendapatkan terlebih dahulu pelatihan sebelum pementoran dilaksanakan. Dalam pelatihan ini mentor akan mempelajari apa saja yang perlu dilakukan mentor, keterampilan apa yang harus dimilikinya, instrumen yang akan digunakan selama pelaksanaan program, rencana
kemajuan, strategi analisis perkembangan, dan refleksi. Kebutuhan program seperti norma-norma organisatoris, nilai-nilai dan harapan-harapan.
5. Kegiatan pementoran juga perlu difokuskan kepada protégé. Umpan balik yang diberikan oleh mentor perlu bermakna bagi protégé dan disampaikan dengan dijaga kerahasiaannya. Hal-hal yang dikritisi oleh seorang mentor adalah hal yang memang dapat diubah oleh seorang protégé.
KESIMPULAN
Pementoran tidak sama dengan bantuan atau penutoran yang dilakukan oleh sejawat karena pementoran adalah wahana pengembangan yang melibatkan seorang mentor yang memang memiliki pengalaman, pengaruh dan prestasi yang jauh lebih tinggi dari protégé yang pada umumnya masih belajar untuk menjadi kepala sekolah. Memang Program Kemitraan Kepala Sekolah pada dasarnya berakar dari program-program pementoran yang telah berlangsung di negara-negara lain, seperti Jepang, Inggris, Amerika, dan Australia. Namun, kedudukan dua orang kepala sekolah yang bermitra dalam Program Kemitraan, adalah lebih setara, dan lebih bersifat tutorial. Sekalipun kedudukan dua kepala sekolah tersebut setara, tetapi kualitas sekolah yang dipimpin keduanya berbeda. Pengimbasan terjadi dari sekolah yang unggul ke sekolah yang dipersiapkan menjadi unggul. Hal ini berbeda dari program pementoran yang biasanya berasal dari dua sekolah yang dalam banyak hal memiliki kesetaraan kualitas dan lingkungan, karena diharapkan terjadi pembelajaran yang lebih otentik.
Menurut hasil penelitian di negara lain program pementoran memberikan dampak positif bagi kepemimpinan seorang kepala sekolah, bukan saja bagi pemagangnya juga bagi mentornya dalam membangun keterampilan seorang praktisi di lapangan secara mendalam. Namun, program kemitraan hanya dapat berhasil bilamana ada perencanaan yang matang dan komitmen operasional yang tinggi.
Salah satu komponen dari perencanaan adalah menyiapkan model yang tepat menurut budaya dan sistem yang ada. Karena menurut kulturnya sedikit kemungkinan bagi kepala sekolah di Indonesia siap bermagang kepada kepala sekolah lainnya, maka model Program Kemitraan lebih sesuai daripada Program Pementoran. Selain itu, program pementoran memang biasa dirancang untuk seseorang yang mempersiapkan diri menjadi kepala sekolah, bukan untuk orang yang telah menjadi kepala sekolah, dan program pementoran semacam ini bersifat formal dan menjadi bagian dari program pendidikan master atau diploma yang diselenggarakan perguruan tinggi untuk persiapan seseorang menjadi kepala sekolah.
DAFTAR RUJUKAN
Capelluti, J. & Nye, K. 2004. The New-Principal Paradox. Principal Leadership, 5(4), p. 8.
Casavant, M.D. & S. Cherkowski, 2001. Effective leadership: bringing mentoringand creativity to the principalship. NASSP Bulletin, 85(624), pp. 71-81
Douglas, C.A. 1997. Formal mentoring programs in organizations. Greensboro, N,C.: Center for Creative Leadership.
Foster, L., 2002. Finding the fun in the principalship. Principal Leadership, 3(2), pp. 16-20,
Goens, G.A. 1998. Too many coxswains: leadership and principalship. NASSP Bulletin, 82(600), pp. 103-11.
Hansford, B. & L.C. Ehrich, 2006. The principalship: how significant is mentoring? Journal of Educational Administration, 44(1), pp.36-54.
Hickcox, E., 2002. Shaping the princialship in Manitoba, paper commissioned by the Manitoba Council for Leadership Education, available at: www.mce.ws/ld/hickcox_shaping_principalship.htm.
Hopkins-Thompson, P.A., 2000. Colleagues helping colleagus: mentoring and coaching. NA SSP Bulletin, 84 (617), pp. 29-36.
Knuth, R.K. & P.A. Banks, 2006. The Essential Leadership Model. NASSP Bulletin, 90(1), pp.4-19.
Lee, H.L. 2002. Learning beyond mentoring: the Singapore Experience. TheInternational Journal of Educational Management, 16(4/5), pp. 185-9.
Lee, JCK, A. Walker, & P. Bodycott, 2000. Pre-service primary teachers’ perceptions about principals in Hong Kong: implications for teacher and principal education. Asia-Pacific Journal of Teacher Education, 28(1), pp.53-68.
Petzko, V.N. 2004. Tailoring professional development for a better fit. Principal Leadership, 5(3), pp. 17-2 1.
Sergiovanni, T.J. 1991. The Principalship: a Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon.
Sullivan-Brown, K. 2002. The Missouri teachers’ academy: mentoring for organizational and personal transformation , in Kochan, D. (Ed), The Organisational and Human Dimensions of successful Mentoring Programs and Relationships, Information Age Publishing, Greenwich, T, pp. 141-51.
Olison, E. 2007. Quality of principal mentoring uneven, report says. Education Week, 26(33), pp. 5-6.
Weindling, D. & C. Dimmock, 2006. Sitting in the “hot seat”: new headteachers inthe UK. Journal of Educational Administration, 44(4), pp. 326-40.
Whitaker, K., 2006. Preparing future principals. Principal Leadership, 7(3), pp. 38- 42.

KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH/MADRASAHYANG EFEKTIF

KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH/MADRASAHYANG EFEKTIF
Surya DharmaDirektur Tenaga KependidikanHusaini UsmanUniversitas Negeri YogyakartaAbstrak
Kepemimpinan yang efektif menyebabkan sekolah yang efektif. Tidak ada sekolah/madrasah yang efektif tanpa kepemimpinan kepala sekolah/madrasah yang efektif pula. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan sumbangan konsep pemikiran tentang bagaimana mengefektifkan kepemimpinan kepala sekolah/madrasah. Teori tradisional yang menyatakan bahwa efektif dan tidak efektifnya kepemimpinan ditentukan oleh sifat-sifat telah direvisi oleh teori modern menyatakan bahwa kepemimpinan yang efektif ditentukan oleh fungsi leader, follower, dan situational. Untuk mengefektifkan kepemimpinan kepala sekolah/madrasah, maka kompetensi kepemimpinannya perlu ditingkatkan.
Kata kunci: kepemimpinan efektif, leader, follower, situational, kinerja, kepuasan, konflik.
PENDAHULUAN
Tujuan utama manajemen sekolah/madrasah adalah untuk mewujudkan sekolah/madrasah yang efektif. Sekolah/madrasah yang efektif ditentukan oleh kepemimpinan kepala sekolah/madrasah yang efektif pula karena sukses atau gagalnya suatu sekolah sangatlah ditentukan oleh kehandalan kepemimpinan kepalanya (Hechinger dalam Davis & Thomas, 1989). Pendapat Hechinger tersebut mendukung pendapat Townsent (1994) yang menyatakan:
Saya tidak pernah melihat sekolah yang bagus dipimpin oleh kepala sekolah yang buruk dan sekolah yang buruk biasanya dipimpin oleh kepala sekolah yang buruk pula. Saya juga menemukan sekolah yang gagal berubah menjadi sukses, sebaliknya sekolah yang sukses tiba-tiba menurun kualitasnya. Naik atau turunnya kualitas sekolah sangat tergantung kepada kualitas kepala sekolahnya.
Terdapat sejumlah teori tentang kepemimpinan kepala sekolah/madrasah yang efektif. Namun, secara garis besarnya dapat dibagi dua pendekatan yaitu: (1) teori sifat-sifat (traits theory approach), dan (2) fungsi Pemimpin (leader), pengikut (follower), dan situasi (situational) atau yang terkenal dengan rumus Kepemimpinan yang efektif (Ke) = fP,p,s. Masalahnya adalah, apakah kepemimpinan kepala sekolah/madrasah kita sudah efektif? Jika belum efektif, bagaimana mengefektifkan kepemimpinan kepala sekolah/madrasah kita?. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan sumbangan konsep tentang bagaimanakah menciptakan kepemimpinan kepala sekolah/madrasah yang efektif.
PEMBAHASAN
Sebelum membahas kepemimpinan yang efektif, terlebih dahulu diberikan pengertian kepemimpinan dan pengertian efektif.
Pengertian Kepemimpinan
Dalam kurun 95 tahun yang lalu, telah dilakukan lebih dari 3000 penelitian tentang kepemimpinan, hasilnya ribuan definisi kepemimpinan telah diungkapkan ahlinya. Namun, tidak satupun dari definisi kepemimpinan yang ditemukan itu memuaskan semua pihak (Schriesheim, et al., 1982 & Hughes, et al., 2002). Walaupun demikian, salah satu definisi kepemimpinan yang agak memuaskan semua pihak adalah definisi kepemimpinan menurut Hughes, et al. (2002) yang menyatakan kepemimpinan ialah proses mempengaruhi orang atau kelompok untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien. Definisi kepemimpinan menurut Hughes et al. relatif cukup memuaskan karena: (1) definisi tersebut relatif komprehensif yang ditandai oleh ada orang yang memimpin (leader) untuk berproses, ada orang yang dipimpin (follower) untuk berproses, dan ada tujuan yang efektif dan efisien yang ingin dicapai (situational); (2) variabelnya relatif unik yaitu menyangkut manusia dan lingkungannya; (3) variabelnya terpadu yaitu memadukan ketiga interaksi leader, follower, dan situational; (4) variabelnya kompleks yaitu tidak hanya searah (linier) tetapi juga multiarah; dan (5) definisinya relatif baru yaitu tahun 2002 atau masih di bawah delapan tahun. Menurut Jurnal Ilmu Pendidikan, teori relatif lama jika sudah delapan tahun ke atas
Sebagai konsekuensi menggunakan definisi Hughes, et al. (2002) tersebut, maka kepemimpinan kepala sekolah yang efektif adalah kepemimpinan yang mampu menjalankan fungsi leader, follower, dan situational secara efektif pula.
Pengertian Efektif
Efektif (hasil guna) ialah tingkat keberhasilan pencapaian tujuan (outcomes) dengan cara melakukan pekerjaan yang benar (do the right things). Efektif juga berarti mampu mencapai tujuan dengan baik. Jika efisiensi lebih memfokuskan diri pada proses penghematan, maka keefektifan (effectiveness) lebih memfokuskan diri pada output atau hasil yang diharapkan. Hasil yang diharapkan dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Efektif secara kuantitatif adalah perbandingan antara hasil yang diperoleh dibagi dengan target dikali 100 persen, sedangkan pengertian efektif secara kualitatif ialah tingkat kepuasan yang diperoleh atau tingkat pencapaian tujuan. Artinya, semakin puas semua pihak, semakin efektif kepemimpinannya. Sesuatu yang efisien belum tentu efektif dan sesuatu yang efektif belum tentu efisien. Efisien (daya guna) adalah proses penghematan sumber daya organisasi (man, money, material, machines, method, marketing, minutes, and information atau 7M+1I) dengan cara melakukan pekerjaan dengan benar (do things right) (Husaini Usman, 2008).
Keefektifan dapat dilihat dari tiga perspektif: (1) keefektifan individual (input), keefektifan kelompok (proses), dan (3) keefektifan organisasi (output). Keefetifan individual ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kemampuan (keterampilan), motivasi dan stres. Keefektifan kelompok ditentukan oleh kekompakan (cohesiveness), kepemimpinan, struktur, status, peran-peran, dan norma-norma. Keefektifan organisasi ditentukan oleh lingkungan, teknologi, pilihan strategik, struktur, proses, dan budaya (Gibson,2003).
Kepemimpinan yang Efektif
Kepemimpinan yang efektif menurut teori Hughes, et al. (2002) meliputi interaksi antar leader, follower, dan situation. Selanjutnya, Hughes, et al. (2002) menggambarkan ketiga interaksi tersebut seperti gambar di bawah ini.
.

Gambar 1: Kepemimpinan yang Efektif
Leader
Leader terbagi atas dua macam yaitu formal dan nonformal. Leader formal diangkat berdasarkan surat keputusan resmi tertulis oleh otoritas di atasnya, sedangkan leader nonformal diangkat oleh kelompok pendukungnya tanpa surat keputusan resmi tertulis. Kepala sekolah/madrasah termasuk leader formal karena ia diangkat dengan surat keputusan resmi dari bupati/walikota untuk sekolah/madrasah negeri dan diangkat oleh ketua yayasan untuk sekolah/madrasah swasta.
Menurut pendekatan teori sifat-sifat, yang membedakan pemimpin efektif dengan pemimpin yang tidak efektif adalah sifat-sifat yang dimiliki seorang leader. Pendekatan teori sifat-sifat merupakan teori kepemimpinan yang paling tua yang mendasari teori-teori berikutnya. Pendekatan teori sifat-sifat berpendapat bahwa pemimpin itu dilahirkan bukan diciptakan (leader are born, not built), artinya seseorang telah membawa bakat kepemimpinan sejak dilahirkan bukan didik atau dilatih. Oleh sebab itu, menurut pendekatan ini, pelatihan kepemimpinan tidak akan efektif atau hanya sia-sia belaka jika dilatihkan kepada mereka yang tidak mempunyai bakat sebagai pemimpin.
Sifat-sifat pemimpin yang efektif menurut Kouzes & Posner (2002) adalah sebagai berikut 20 yaitu: (1) jujur, (2) memandang jauh ke depan, (3) memberikan inspirasi, (4) cakap, (5) berpikiran adil, (6) mau memberi dukungan, (7) berpikiran luas, (8) cerdas, (9) lugas, (10) dapat diandalkan, (11) berani, (12) mau bekerja sama, (13) mempunyai imajinasi, (14) peduli, (15) bertekad kuat, (16) dewasa, (17) ambisius, (18) setia, (19) dapat mengendalikan diri, dan (20) mandiri. Keduapuluh sifat di atas berdasarkan penelitian Kouzes & Posner terhadap 20.000 pemimpin sebagai responden di empat benua. Dari ke-20 sifat-sifat pemimpin yang ditemukan, mayoritas responden memilih empat sifat teratas yang harus dimiliki pemimpin yang efektif yaitu: (1) jujur, (2) memandang jauh ke depan, (3) mampu memberikan inspirasi, dan (4) kompeten. Kejujuran menimbulkan kepercayaan (trust). The essence of leadership is trust (Esensi kepemimpinan adalah kepercayaan) (Robbins,2008). Hughes, et al. (2002) menyatakan bahwa kepribadian yang efektif ialah pemimpin yang memiliki sifat-sifat (traits) yang terdapat dalam lima faktor model kepribadian (Five Factor Model of Personality) disingkat FFM seperti Tabel 1.
Tabel 1. The Five Factor Model of Personality (PPM)
Five FactorDimensions
Traits
Behaviors/Items
Surgency
Dominance
I like having responsibility for other
Sosiability
I have a large group of friends.
Agreeableness
Emphaty
I am a sympathetic person
Friendly
I am usually in a good mood
Dependability
Organization
I usually make “to do” lists.
Credibility
I practice what I preach.
Conformity
I rarely get into trouble.
Achievement orientation
I am a high achiever.
Adjustment
Steadiness
I remain calm in pressure situations.
Self-acceptance
I take personal critism well.
Intelectance

I like traveling to foreign countries.

Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sejumlah sifat-sifat pemimpin banyak memiliki persamaan makna. Perbedaannya hanya terletak dalam istilah dan jumlahnya saja. Kelemahan pendekatan sifat-sifat ini adalah sampai sekarang belum satupun penelitian yang menggunakan pendekatan ini berhasil secara memuaskan. Karena selalu saja terjadi sifat-sifat kepemimpinan yang ditemukan tumpang tindih bahkan kontradiktif.
Pendekatan teori sifat-sifat ternyata tidak memuaskan sebagian orang sehingga direvisi oleh teori berikutnya yaitu teori perilaku (behavior). Teori perilaku menghasilkan gaya kepemimpinan berorientasi pada tugas dan berorientasi pada hubungan manusiawi. Kemudian berkembang menjadi gaya otoriter, demokratis, dan laize faire. Selanjutnya berkembang menjadi gaya direktif, suportif, partisipatif, dan orientasi pada pencapaian tujuan. Akhirnya, ketiga gaya ini berkembang menjadi empat gaya kepemimpinan Hersey & Blancard (1995) yaitu gaya telling, selling, participating, dan delegating.
Teori perilaku tersebut selanjutnya direvisi oleh teori situasional atau kontingensi. Menurut teori ini, tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang tepat diterapkan dalam setiap situasi melainkan tergantung kematangan pengikut dan situasinya (Hughes,et al. :2002).
Hughes et al. (2002) menyatakan, “Personality traits, personality type, intelligence, and emotional intelligence with leadership success. In general, all of these attributes can help a leader to influence a group toward the accomplishment
of its goals.” (Sifat-sifat kepribadian, tipe kepribadian, kecerdasan, dan kecerdasan emosional berhubungan dengan keberhasilan kepemimpinan. Secara umum, semua atribut dapat membantu seorang pemimpin mempengaruhi kelompok mencapai tujuannya). Kepemimpinan yang efektif memerlukan peningkatan kompetensi. Untuk meningkatkan kompetensi, Hughes, et al. (2002) menggambarkannya sebagai berikut.
Competencies
KnowledgeExperience
PersonalityTraits andPreference
Power,ValuesInterestsMotivates/GoalsIntelegence
Gambar 2. Membangun Blok Kompetensi
Menurut gambar di atas, jelaslah bahwa kompetensi kepemimpinan yang efektif dibangun atas sikap sebagai basisnya, kemudian baru pengetahuan dan keterampilan. Kepemimpinan kepala sekolah/madrasah akan efektif jika kepala sekolah/madrasah memiliki kompetensi konseptual (knowledge), profesional (exprience), kepribadian (personality traits), sosial (preference), supervisi (power), dan manajerial (interests, motivates/goals). Dengan menggunakan kekuasaan seorang memimpin dapat mempengaruhi pengikutnya. Seorang menjadi berkuasa karena satu atau lebih dari faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menjadi berkuasa. Faktor-faktor dimaksud adalah kekuasaan karena memiliki: keahlian (expert), informasi, koneksi (referent), kemampuan memberi penghargaan atau hadiah (uang) (reward), kharismatik, punya posisi untuk menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku (position and legitimate), dan kemampuan memaksa dengan kekerasan atau menghukum (coersive) (French & Raven, 1956). Di samping itu, kepemimpinan kepala sekolah/madrasah akan efektif jika ia menggunakan gaya kepemimpinan yang tepat dengan situasi pengikutnya, membina komunikasi yang efektif dengan atasannya, membina komunikasi yang efektif dengan sesama kepala sekolah/madrasah, dan membina komunikasi yang efektif dengan pengikutnya, memberdayakan pengikutnya, mendayagunakan pengikutnya, meningkatkan kinerja dirinya, meningkatkan kinerja pengikutnya, memberikan kepuasan kepada semua pihak, dan memberikan penghargaan dan sanksi yang seimbang kepada pengikutnya (Hughes, et al.: 2002).
Follower
Bagaimanapun hebatnya kualitas seorang pemimpin, jika tidak mendapat dukungan pengikut dan situasinya; maka kepemimpinannya akan jatuh. Sejarah menunjukkan bahwa banyak pemimpin yang kuat kemudian jatuh karena pengikutmya dan situasinya sudah tidak mendukung. Tiga hal yang paling erat hubungannya dengan follower ialah motivasi, kepuasan, dan kinerja (Hughes, et al. :2002). Hubungan antara motivasi dan kinerja terhadap kepemimpinan yang efektif digambarkan oleh Hughes, et al. :2002) seperti di bawah ini.
Gambar 3. Hubungan antara Kepuasan Kerja dan Kinerja terhadap Kepemimpinan
Banyak teori tentang yang menyangkut follower sebagai manusia, misalnya teori kematangan Argyris, teori tipe manusia A dan B, teori W, teori X dan Y dari McGregor, teori Z dari Ochi, teori Myers-Briggs Type Indicator (MBTI), pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya manusia, manajemen sumber daya manusia, manajemen kinerja, manajemen konflik, manajemen stres, teori kematangan Argyris, teori delegasi, dan teori Hersey & Blanchard. Namun, pada artikel ini dibatasi pada teori follower Hersey & Blanchard (1995). Menurut Hersey & Blanchard (1995), manusia termasuk follower terdiri atas empat tipe yaitu matang (mau dan mampu atau kompeten), agak matang (mau dan tidak mampu), agak matang (tidak mau dan mampu, dan belum matang (tidak mau dan tidak mampu) seperti gambar di bawah ini.
Gambar 4. Empat Tipe Follower
Follower yang paling diharapkan leader adalah follower yang mau dan mampu. Menyusul follower yang mau tapi tidak mampu. Kepala sekolah/madrasah yang efektif akan memilih follower yang mau diajak bekerja dulu daripada follower yang mampu tetapi tidak dapat diajak bekerja sama. Masalah tidak mampu bekerja dapat dirubah menjadi mampu bekerja setelah diberi kesempatan magang atau mengikuti pendidikan dan pelatihan.Yang penting asalkan ada kemauan karena di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Kemudian, follower yang tidak mau dan mampu. Follower yang tidak mau dapat diatasi dengan pemberian motivasi yang efektif. Dengan memberikan ganjaran yang dapat memotivasi. Terakhir, follower yang tidak mau dan tidak mampu. Follower yang demikian dapat diatasi dengan dilatih dan diberi motivasi.
Agar kepemimpinan kepala sekolah/madrasah efektif, maka Hersey & Blanchard (1995) merekomendasikan untuk menggunakan gaya kepemimpinan yang cocok dengan tingkat kematangan atau situasi followernya seperti gambar di bawah ini.
Gambar 5: Model Kepemimpinan Situasional Hersey & Blanchard
Pendekatan ini merevisi pendekatan perilaku yang ternyata tidak mampu menjelaskan kepemimpinan yang ideal. Pendekatan ini menggambarkan bahwa gaya yang digunakan tergantung dari pemimpinnya sendiri, dukungan pengikutnya, dan situasi yang kondusif. Para ahli sepakat bahwa Kepemimpinan yang efektif (Ke) itu ditentukan oleh Pemimpin (P), pengikut (p), dan situasi (s) situasi. Ketiganya berfungsi secara optimal sehingga rumusnya adalah Ke = f(P,p,s)
Pendekatan ini terkenal dengan: (1) model kontingensi Fiedler, (2) model rangkaian kesatuan kepemimpinan dari Tannenbaum & Schmidt, (3) model kontinum kepemimpinan Vroom & Yetton, (4) model kontingensi lima faktor Farris,
(5) model kepemimpinan dinamika kelompok Dorwin Cartwight & Alvin Zander,
(6) model kepemimpinan path goal Evans dan House, (7) model kepemimpinan vertical dyad linkage Graen, (8) model kepemimpinan Bass, dan 9) model kepemimpinan situasional Hersey & Blanchard. Dari kesembilan model kepemimpinan situasional ini, model Hersey & Blanchard merupakan model yang paling populer.
Empat gaya kepemimpinan yang dihasilkan adalah telling, selling, participating, dan delegating.
Ciri-ciri telling (pembertahuan): tinggi tugas dan rendah hubungan, pemimpin memberikan instruksi atau keterangan bagaimana cara mengerjakan, kapan harus selesai, di mana pekerjaan dilaksanakan dan pengawasan, komunikasi biasanya satu arah. Telling disebut juga gaya (Style) 1 atau disingkat S1.
Ciri-ciri selling (penawaran atau penjualan): tinggi tugas dan tinggi hubungan, pemimpin menwarkan gagasannya dan bawahan diberi kesempatan berkomentar, pemimpin masih banyak melakukan pengarahan, komunikasi sudah dua arah. Selling disebut juga S2.
Ciri-ciriparticipating (pelibatan bawahan): tinggi hubungan dan rendah tugas, pemimpin dan bawahan saling memberikan gagasan, pemimpin dan bawahan sama­sama membuat keputusan. Participating disebut juga S3.
Ciri-ciri delegating (pendelegasian): rendah hubungan dan rendah tugas, pemimpin melimpahkan wewenangnya kepada bawahan, bawahan mendapat wewenang membuat keputusan sendiri. Delegating disebut S4.
Tiga azas yang ditonjolkan oleh Ki Hajar Dewantara, tokoh pejuang dan pendidikan serta pahlawan nasional dirumuskan sebagai berikut. Ing Ngarsa Asung Tulada, artinya jika berada di muka ia memberikan teladan sepadan dengan telling. Ing Madya Mangun Karsa, artinya jika berada di tengah, ia mengembangkan tekad sepadan dengan selling dan participating. Tut Wuri Handayani, artinya jika dibelakang ia menjadi pendorong sepadan dengan delegating. Tut Wuri Handayani kemudian menjadi lambang Depdiknas hingga saat ini.
Cara menerapkan keempat gaya kepemimpinan tersebut adalah sebagai berikut.
S1: Berikan instruksi khusus dan perketat supervisi.
Siapkan dengan jelas dan rinci siapa, apa, kapan, di mana, dan
bagaimana melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
Jelaskan peran masing-masing.
Utamakan komunikasi satu arah.
Pemimpin membuat keputusan.
Ketatkan supervisi dan pertanggungjawaban.
Berikan instruksi tambahan untuk memperjelas.
Buat sesuatu menjadi sederhana dan khusus (Keep it simple and
specific = KISS).
S2: Siapkan dengan jelas dan rinci siapa, apa, kapan, di mana, dan bagaimana melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Jelaskan keputusan dan beri peluang untuk klarifikasi. Lakukan komunikasi dua arah (dialog).
Pemimpin membuat keputusan.
Jelaskan peran masing-masing
Tanyakan kepada bawahan untuk mengetahui tingkat kemampuannya.
Dorong untuk mengadakan sedikit meningkatkan.
S3: Banyak menerima masukan
Jadilah pendengar yang aktif
Bawahan membuat keputusan.
Komunikasi dua arah dan bawahan dilibatkan. Mendukung bawahan dalam mengambil resiko Memberi pujian atas keberhasilan tugas bawahan Membangun percaya diri.
S4: Delegasikan tugas sesuai kompetensi staf Beri gambaran umum tentang tugas Bawahan membuat keputuasn
Memantau kegiatan
Mendorong pencapaian tujuan (hasil)
Situational
Situasi teori Team Effectiveness Leadership Model temuan Ginnets yang selanjutnya dikembangkan oleh Nadler & Tushman (1997) yang disebut congruence model. Model ini memandang situasi sebagai sistem yang terdiri atas input, proses, dan output. Subsistem input, proses, dan output digambarkan Nadler & Tushman (1997) seperti Gambar 6.

Pekerjaa n
Organisasi
Informal
Orang
Organ isasi
Formal
Ouput Sistem Unit IndividualProses
Input Lingkungan Sumberdaya Sejarah
Gambar 6. Model Congruence (Nadler & Tushman,1997)
Situasi dalam hal ini menurut Hughes, et al. (2002) adalah lebih fokus pada orang yaitu meliputi bagaimana meningkatkan kinerja dan kepuasan kerja follower, mengatasi konflik dan stress, dan pemberian penghargaan terhadap follower. Robbins (2006) mengartikan kinerja adalah produk dari fungsi dari kemampuan dan motivasi. Jika diformulasikan Kinerja = f (Kemampuan X Motivasi). Pandangan Robbins tersebut menunjukkan bahwa kinerja dinyatakan sebagai suatu produk, yakni produk kerja dari orang maupun dari lembaga. Sejalan dengan pendapat Robbins tersebut, Hunsaker (2001) memberikan rumus sebagai berikut.
Performance = Ability x Motivation.
Ability = Aptitude x Training x Resources.
Motivation = Desire x Commitment.”
Ada lima faktor dalam penilaian kinerja yang populer yaitu: (1) kualitas pekerjaan, meliputi: akurasi, ketelitian, penampilan dan penerimaan keluaran; (2) kuantitas pekerjaan, meliputi: volume keluaran dan kontribusi; (3) supervisi yang diperlukan, meliputi: saran, arahan, dan perbaikan; (4) kehadiran meliputi: regulasi, dapat dipercaya/diandalkan dan ketepatan waktu; dan (5) konservasi, meliputi: pencegahan pemborosan, kerusakan dan pemeliharaan peralatan.
Tujuan penilaian kinerja adalah untuk: (1) lebih menjamin objektivitas dalam pembinaan calon pegawai dan pegawai berdasarkan sistem karir dan sistem prestasi kerja. Untuk maksud tersebut, pemerintah telah mengeluarkan pedoman penilaian kinerja kepala sekolah/madrasah; (2) memperoleh bahan-bahan pertimbangan objektif (masukan) dalam pembinaan calon pegawai dan pegawai dalam membuat kebijakan seperti promosi, demosi, transfer (mutasi), hukuman, pemecatan, bonus, job design seperti job enlargment, job enrichment, and job rotation; (3) memberi masukan untuk mengatasi masalah yang ada, misalnya kurang terampil atau perlu
keterampilan baru (untuk menentukan jenis pelatihan dan pengembangan karir calon pegawai dan pegawai); (4) mengukur validitas metode penilaian kinerja yang digunakan. Apakah skor penilaian berkorelasi dengan kinerja?; (5) mendiagnosa masalah-masalah organisasi; dan (6) umpan balik bagi calon pegawai dan pegawai, serta pimpinan.
Promosi ialah kenaikan jabatan ke posisi yang lebih tinggi diikuti tanggung jawab dan gaji yang lebih tinggi pula. Demosi ialah perpindahan pegawai dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya dengan tanggung jawab dan gaji yang lebih tinggi. Rotasi ialah perpindahan seorang pegawai secara sistematis dari satu posisi ke posisi lain di dalam organisasi. Tujuannya untuk mengurangi kejenuhan dan menambah pengalaman baru.
Manfaat penilaian kinerja adalah untuk: (1) meningkatnya objektivitas penilaian kinerja pegawai, (2) meningkatnya keefektifan penilaian kinerja pegawai, (3) meningkatnya kinerja pegawai, dan (4) mendapatkan bahan-bahan pertimbangan yang objektif dalam pembinaan pegawai tersebut baik berdasarkan sistem karir maupun prestasi.
Orang yang berwenang melakukan penilaian adalah atasan langsung. Sumber evaluasi kinerja meliputi atasan langsung, calon pegawai atau pegawai yang bersangkutan, teman sejawat, bawahan, dan pihak luar (pelanggan). Tantangan terhadap evaluasi kinerja adalah: menimbulkan permusuhan, memakan waktu, tenaga terampil, dan biaya. Penilaian kinerja dilaksanakan setiap tahun sekali yaitu paling lambat setiap akhir bulan Desember tahun bersangkutan. Komponen yang dinilai adalah setiap indikator kompetensi dari setiap dimensi kompetensi yang telah dimiliki pegawai yang bersangkutan.
Proses penilaian kinerja dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Mereviu standar kinerja.
2. Melakukan analisis jabatan.
3. Mengembangkan instrumen penilaian.
4. Memilih penilai.
5. Melatih penilai.
6. Mengukur kinerja.
7. Membandingkan kinerja aktual dengan standar.
8. Mengkaji hasil penilaian.
9. Memberikan hasil penilaian.
10. Mengaitkan imbalan dengan kinerja.
11. Membuat rencana-rencana pengembangan dengan menyepakati sasaran­sasaran dan standar-standar kinerja masa depan.
Herbert (1981) menyatakan, “Job satisfaction is a personal reaction, an emotional state” Pernyataan Herbert ini mengandung arti bahwa kepuasan kerja adalah suatu reaksi personal dan bersifat emosional. Oleh sebab itu, kepuasan kerja setiap orang tidaklah sama atau bersifat relatif. Puas bagi seseorang belum tentu puas bagi orang lainnya. Selanjutnya, sejalan dengan pendapat di atas, Robins menyatakan, Kajian terhadap bukti menunjukan empat faktor yang kondusif bagi munculnya level tinggi kepuasan kerja karyawan: Pekerjaan yang menantang, imbalan yang setimpal, kondisi kerja yang mendukung, dan mitra kerja yang mendukung.
Kepuasan kerja adalah sikap seseorang terhadap pekerjaannya yang mencerminkan pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam pekerjaannya serta harapan-harapannya terhadap pengalaman masa depan (Yukl,2004). Robbins (2006) mengartikan kepuasan kerja sebagai sikap umum individu terhadap pekerjaannya. Sikap individu bisa menyangkut puas dan tidak puas pada seluruh dimensi dari pekerjaannya.
Robbins (2006) mengingatkan terdapat dampak dari kepuasan maupun ketidakpuasan dari pekerja suatu organisasi atau lembaga terhadap kinerja pekerjanya. Dampak langsung dari kepuasan pekerja terhadap kinerja meliputi: (1) produktivitas pekerja tinggi, (2) kemangkiran pekerjanya tidak ada, (3) pekerjanya tetap setia tinggal di organisasi atau lembaganya, dan (4) pelanggan menjadi puas dan meningkat jumlahnya. Begitu sebaliknya, ketidakpuasan pekerjanya berdampak langsung terhadap kinerjanya, dampaknya meliputi: (1) produktivitas pekerjanya menjadi rendah, (2) pekerjanya banyak yang mangkir, (3) pekerjanya keluar dari organisasi atau lembaganya, dan (4) banyak pelanggan yang mengeluh dan ditinggalkan pelanggannya.
Bertolak dari pemahaman di atas, pihak sekolah/madrasah dituntut untuk secara bertahap dan terus menerus memenuhi seluruh kebutuhan pegawai agar kepuasan pegawai dapat diwujudkan di tempat kerjanya karena kepuasan pegawai akan berdampak langsung terhadap kinerjanya.
Dari beberapa pandangan dapat disimpulkan bahwa kepuasaan kerja adalah terpenuhinya seluruh kebutuhan pekerja dalam melaksanakan tugasnya waktu tertentu. Indikator-indikator untuk mengukur kepuasan kerja menurut Minnosota Satisfaction Questionare (MSQ) adalah seperti berikut.
1. Kebebasan memanfaatkan waktu luang.
2. Kebebasan bekerja secara mandiri.
3. Kebebasan berganti-ganti pekerjaan dari waktu ke waktu.
4. Kebebasan bergaul.
5. Gaya kepemimpinan atasan langsung.
6. Kompetensi pengawas.
7. Tugas yang diterima.
8. Kesempatan bertindak terhadap orang lain.
9. Persiapan kerja
10. Kebebasan memerintah.
11. Kebebasan memanfaatkan kemampuan.
12. Kebebasan menerapkan peraturan yang berlaku.
13. Gaji yang diterima.
14. Kesempatan mengembangkan karir.
15. Kebebasan mengambil keputusan.
16. Kesempatan menggunakan metode kerja.
17. Kondisi kerja yang mendukung.
18. Kerja sama.
19. Penghargaan terhadap prestasi.
20. Perasaan pekerja terhadap prestasinya (Weiss, et al, 1989).
Hughes, et al. (2002) memberikan contoh tipe butir pernyataan tentang kepuasan kerja seperti pada tabel berikut.
Tabel 2.Tipe Butir Pertanyaan Kepuasan Kerja
No.
Tipe Butir Pernyataan
1.
Secara menyeluruh, saya puas dengan pekerjaan saya.
2.
Saya merasa bahwa beban kerja saya di sekolah relatif sama dengan teman­teman.
3.
Pengawas sekolah saya mengatasi konflik dengan baik.
4.
Gaji dan fasilitas yang saya terima setara dengan lembaga lain yang sederajat.
5.
Di sekolah ini merupakan masa depan nyata bagi setiap orang untuk menerapkan keahliannya.
6.
Selain kinerja terdapat ganjaran lain di sekolah saya.
7.
Warga sekolah saya peduli terhadap kesehatan fisik dan nonfisik.
8.
Secara umum, saya puas dengan hidup saya dan masa depan saya.

Orang yang dinilai kepuasan kerjanya diminta mengisi secara jujur dengan memberi bobot pada setiap pernyataan. Bobot 1 = sangat tidak puas sampai bobot 5 = sangat puas. Kemudian dijumlahkan. Jika bobot seseorang = 40 artinya sangat puas. Sebaliknya, jika bobot seseorang = 8 artinya sangat tidak puas.
Porter & Lawler menggambarkan keterkaitan antara kinerja dan ganjaran dengan kepuasan kerja seperti gambar di bawah ini.
Nilai
ga nja ran
Kemam­pua n
Ga nja ran
Perasaan keadilan ga nja ran
Usaha
Kinerja
Kepuasan
Merasa berusaha­Peluang
ga nja ran
Persepsi peran
Ga nja ran
Gambar 7. Model Motivasi Porter & Lawler (1968)
Dari gambar model motivasi Porter dan Lawler di atas, dapat diketahui bahwa kinerja ditentukan oleh kemampuan, usaha (karena adanya motivasi), dan persepsi. Selanjutnya, kinerja atau prestasi menentukan ganjaran atau upah yang akan diterima seseorang. Jadi, pegawai sebaiknya jangan dulu mengharapkan gaji dan insentif yang tinggi sebelum menunjukkan kinerja yang tinggi dulu. Tunjukkan prestasi dulu, rezeki akan datang dengan sendirinya. Kalau sudah berprestasi, bukan orang yang bersangkutan mencari pekerjaan, melainkan pekerjaan mencari orang yang tepat. Akhirnya, ganjaran menentukan kepuasan. Semakin sesuai ganjaran dengan yang diharapkan, semakin tinggi tingkat kepuasan penerimanya. Sebaliknya, ganjaran yang tidak sesuai dengan yang diharapkan dapat menimbulkan ketidakpuasan. Oleh sebab itu, kepuasan menentukan nilai ganjaran.
Konflik ialah pertentangan antara seseorang dengan dirinya, seseorang dengan seseorang, seseorang dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Konflik dapat berdampak positif dan negatif. Konflik berdampak positif dapat menimbulkan
motif berprestasi. Sebaliknya, konflik berdampak negatif dapat menimbulkan frustrasi. Frustrasi yang berkepanjangan menyebabkan stres.
Hunsaker (2002) memberikan lima strategi untuk mengatasi konflik dalam lima kemungkinan yaitu: (1) jika kerja sama rendah dan perhatian terhadap kepuasan diri sendiri tinggi serta perhatian terhadap kepuasan orang lain rendah, maka gunakan persaingan (competing) atau forcing;, (2) jika kerja sama rendah dan perhatian terhadap kepuasan diri sendiri rendah serta perhatian terhadap kepuasan orang lain rendah, maka gunakan penghindaran (avoiding), (3) jika kerja sama dan perhatian terhadap kepuasan diri dan orang lain seimbang (cukup), maka gunakan kompromi (compromising), (4) jika kerja sama tinggi dan perhatian terhadap kepuasan diri sendiri dan orang lain tinggi, maka gunakan kolaboratif (collaborating), dan (5) jika kerja sama tinggi dan perhatian terhadap kepuasan diri sendiri rendah serta perhatian terhadap kepuasan orang lain tinggi, maka gunakan pengakomodasian (accomodating). Selanjutnya Hunsaker (2002) menggambarkan strategi konflik seperti gambar di bawah ini.
Un­assertive
Assertive
Uncoorperative
Person’s Desire to Satisfy Concern of others
Gambar 8. Strategi Mengatasi Konflik
Avoiding
Competing
Compromising
Collaborating
Accommodating
Coorperative

Dinsmore (1990) memberikan cara mengurangi konflik seperti tabel berikut ini.
Tabel 3.Cara Mengurangi Konflik
Meminimalkan konflik dengan atasanTempatkan dirinya sebagai “sepatu bos”
· Anaalisis pola pikir boss
· Jangan menyampaikan masalah kepada bos tetapi pemecahan masalahnya.
· Dengarkan dengan baik informasi bos untuk rencana danpengembangan
· B erkonsultasi dengan bosterhadap kebijakan, prosedur, dan kriteria.
· Jangan memaksa boss
Meminimalkan konflik dengan teman selevel.
· Bantu kelompok mencapai tujuannya.
· Bangun iklim kerjasama
· Beri catatan kemajuan untuk membantu anda dari kelompok
· Usahakan saluran komunikasi informal.
· Coba mereka dengan percobaan yang Anda inginkan.
Meminimalkan konflik dengan bawahan
· Temukan profesional dan tujuan personal anggota tim.
· Jelaskan harapan Anda
· Definisikan ukuran kontrol
· Kembangkan toleransi kegagalan untuk membangkitkan kreativitas.
· Beri umpan balik positif.
· Beri kesempatan dan penghargaan.

Meminimalkan konflik dengan pelanggan
· Dorong pelanggan menujuyang mereka inginkan.
· Pelihara kontak tertutupdengan pelanggan.
· Hindari kejutan
· Siaplah melayani setiap level
· Kembangkan hubungan informal sebaik mungkin.
· Laksanakan proyek pertemuan reguler.

Kunci untuk mengelola stres para pekerja adalah komunikasi. Untuk mengembangkan komunikasi yang efektif diperlukan tindakan-tindakan sebagai berikut.
1. Membangun hubungan baik; peran manajer adalah memindahkan halangan komunikasi, juga halangan lingkungan fisik. Tiga elemen dalam proses komunikasi (anda sendiri, orang lain, dan lingkungan) perlu diyakinkan dalam kondisi kesesuaian.
2. Mendengarkan dengan aktif tidak sekedar memberi ruang bagi pekerja untuk membeberkan ceritanya, tetapi ada beberapa teknik yang dapat digunakan,
misalnya: (a)menggunakan keheningan (b) menggunakan pertanyaan terbuka, (c) melakukan refleksi, (d) menyatakan dengan kata-kata sendiri, (e) berkonsentrasi,(f) menggali pilihan, dan (g) membuat ringkasan.
3. Respons yang kemungkinan diberikan pekerja pada pertemuan awal ini bisa berupa: menolak, menerima, ataupun menyerang. Apapun respons mereka, perlu ditanggapi secara efektif.
Menurut Maslow (1968), terdapat lima hirarki kebutuhan manusia. Kebutuhan pertama yang paling rendah adalah kebutuhan fisiologikal menyusul rasa aman, ingin dihargai, dan terakhir yang paling tinggi ingin mengaktualisasikan dirinya. Penghargaan tidak selalu dalam bentuk uang atau barang. Contoh kebutuhan ini antara lain adalah: ingin ada ucapan terima kasih, ucapan selamat jika berjumpa menunjukkan rasa hormat, mendapatkan tanda penghargaan, dan memberi peluang atau fasilitas kemudahan lainnya, menjadi legislatif, menjadi pejabat (mendapat kekuasaan), menjadi pahlawan, dan mendapat ijazah sekolah, status simbul, promosi. Untuk memenuhi kebutuhan ini, manusia biasanya berdoa minta ditinggikan derajatnya melalui sholat tahajud dan berusaha untuk memenuhinya dengan cara jika ingin dihormati orang lain, maka kita harus menghormati orang lain.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Kepemimpinan kepala sekolah/madrasah yang efektif mempengaruhi sekolah/madrasah yang efektif. Sebagai leader, kepala sekolah/madrasah yang efektif memiliki sifat-sifat pemimpin yang efektif. Untuk mewujudkan kepemimpinan kepala sekolah/madrasah yang efektif diperlukan dukungan kompetensi kepala sekolah/madrasah sebagai leader, dukungan follower, dan dukungan situational. Kepala sekolah/madrasah yang efektif menggunakan gaya kepemimpinannya sesuai dengan tingkat kematangan followernya agar dapat memberdayakan dan mendayagunakan followernya. Kepala sekolah/madrasah yang efektif juga memperhatikan situasi yang dihadapi sekolah/madrasahnya agar selalu tercipta iklim dan budaya sekolah/madrasah yang kondusif.
Rekomendasi
Kepala sekolah/madrasah diharapkan senantiasa membiasakan diri atau berlatih sehingga memiliki sifat-sifat pemimpin yang efektif. Untuk menjadi kepala sekolah/madrasah yang efektif, maka kepala sekolah/madrasah harus mengetahui mengetahui tingkat kematangan followernya sehingga mampu menerapkan gaya
kepemimpinan yang tepat. Kepala sekolah/madrasah hendaknya kompeten mengatasi situasi yang terjadi di sekolah/madrasahnya. Pengawas sekolah/madrasah dalam meningkatkan kompetensi kepemimpinan kepala sekolah/madrasah yang efektif dengan memperhatikan kepala sekolah/madrasah sebagai leader, guru dan tenaga kependidikan dan siswa sebagai follower, dan lingkungan internal dan eksternal sekolah/madrasah sebagai situation.
DAFTAR RUJUKAN
Davis, G.A. & Thomas, M.A. 1989. Effective Schools and Effective Teachers. Massachusetts: Ally and Bacon.
Dinsmore, P. 1990. Human factors in Project Management. New York: AMACOM.
French, J.R.P. & Raven, B.H. 1956. The Bases of Social Power. In Cartwright, D (Editor). Study of Social Power. Ann Arbor, MI: Institute for Social Research,pp. 150.
Gibson, J.L., Ivancevich,J.M., Donnelly,J.H., & Konopaske, R. 2003. Organizations Behavior, Structure, Processes. 11th Edition. New York: McGraw-Hill Irwin.
Hersey, P. & Blanchard, P. 1995. Management of Organizational Behavior Utilizing Human Resources. 9th Edition. London: Prentice-Hall International Editions.
Hughes, R.L., Ginnett, R.C., & Curphy, G.J. 2002. Leadership Encahncing theLessons of Experiences. Forth Edition. New York: McGraw Hill Irwin.
Hunsaker, P.L.2002.Training in Management Skill. Upper Sadle River,New Jersey: Prentice Hall.
Kouzes, J, M. & Posner, B.Z, 2000. The Leadership Challenge. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Lunenburg, F.C., & Orstein, A.C. (2002) .Educational Admiistration Concepts and Pratices. 4th Edition. London: Wadsworth.
Maslow, A.H. 1968. Motivation and Personality. New York: Addison-Wesley.
Nadler, D. & Tushman, M. 1997. Competing by Design: The Power ofOrganizational Architecture. Oxford: Oxford University Press, Inc.
Porter, L.W. & Lawler III,E.E. 1968. Managerial Attitude and Performance. Homewood: The Dorsey Press & Richard D.Irwin,Inc.
Robbins, S.P. 2008. The Truth about Managing People Second Edition. Upper Sadle River, New Jersey: Pearson Educaion, Inc.
Schriesheim, C.A., Tolliver, J.M., & Behling, O.C. 1991. Teori Kepemimpinan: Beberapa Implikasi Bagi Manajer, dalam Kepemimpinan (Diterjemahkan: Susanto Budidharmo). Jakarta: PT. Gramedia.
Yukl,G. 2004. Leadership in Organization. London: Prentice hall International.