Senin, 04 Agustus 2008

KEPALA SEKOLAH SEBAGAI SUPERVISOR
DALAM UPAYA MENINGKATAN MOTIVASI GURU

A. Pendahuluan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/ Madrasah menyatakan bahwa seorang Kepala Sekolah mesti memiliki kualifikasi kompetensi, dengan berbagai dimensi diantaranya yakni dimensi kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi dan kompetensi sosial.
Jika melihat pada keefektifan suatu sekolah dalam menggapai visi, mengemban misi, dan menjalankan aktivitas pendidikan mempersyaratkan adanya seorang kepala sekolah yang efektif, yaitu seorang kepala sekolah yang mampu mengelola sumber daya manusia maupun non-manusia secara efektif dan efisien. Lebih-lebih, dalam beberapa tahun terakhir ini pemerintah memperkenalkan dan menggalakkan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Quality Improvement), yang lebih dikenal dengan manajemen berbasis sekolah (School Based Management), kehadiran kepala sekolah yang efektif merupakan komponen organik, sebab bagaimanapun banyaknya sarana dan prasarana pendidikan yang dimiliki sekolah, betapapun besarnya dana yang tersedia bagi pembiayaan operasional sekolah, dan betapapun banyaknya sumber daya manusia yang tersedia untuk mengoperasikan kegiatan sekolah, semuanya akan sia-sia belaka bilamana tidak dikelola secara profesional oleh kepala sekolah yang efektif dan efisien.
Dari berbagai kompetensi yang harus dimiliki seorang kepala sekolah, Kepala sekolah harus mampu memotivasi, mendorong, menggalang, mengarahkan, membimbing, mensuprvisi seluruh pendidik dan tenaga kependidikan yang menjadi tanggung jawabnya dalam satu kesatuan ’nawaitu” menggapai visi, mengemban misi, dan melaksanakan program aksi yang telah direncanakan dengan melibatkan seluruh stakeholder. Oleh karena itu seorang kepala sekolah dipandang perlu memiliki konsep dan strategi kepemimpinan, supervisi pembelajaran, dan motivasi guru.

B. Kepemimpinan

1. Konsep Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan keseluruhan proses mempengaruhi, mendorong, mengajak, menggerakkan, dan menuntun orang lain dalam proses kerja agar berfikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kepemimpinan hakikatnya dapat muncul kapan dan dimanapun, apabila ada unsur-unsur :
1. Orang yang memimpin.
2. Orang-orang yang dipimpin.
3. Kegiatan atau tindakan penggerakkan untuk mencapai tujuan.
4. Tujuan yang ingin dicapai bersama.

Begitu pula kepemimpinan kepala sekolah dalam suatu institusi pendidikan, maka dalam menjalankan program yang telah direncanakan atau diorganisasikan perlu didukung dengan sebuah kepemimpinan yang efektif dan didukung pula oleh seluruh pendidik dan tenaga kependidikan. Kehadiran seorang kepala sekolah sangat esensial, mengingat kepala sekolah merupakan motor penggerak bagi sumber daya yang dimiliki pada suatu sekolah/madrasah. Karena itu, kepala sekolah disebut juga sebagai fungsi organik dalam proses manajemen.


2. Syarat-syarat untuk Menjadi Kepala Sekolah yang Sukses
Kepala Sekolah merupakan pemimpin di Siapapun yang menjadi pemimpin sekolah harus memenuhi syarat-syarat pemimpin agar sukses dalam kepempimpinnya di sekolah, baik kepribadian, pengetahuan, dan ketrampilan, sebagaimana diuraikan berikut ini:
1. Seorang pemimpin harus dapat memiliki sifat-sifat pribadi yang terpuji, antara lain ramah, periang, antusias, berani, murah hati, spontan, percaya diri, dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi, menerima pendapat orang lain.
2. Seorang pemimpin harus dapat memikirkan, merumuskan tujuan visi, misi, kondisi, dan aksi yang ingin dicapai, dan menginformasikannya kepada staf agar mereka sepenuhnya memahami yang ingin dicapai bersama.
3. Seorang pemimpin harus memiliki ketrampilan dalam bidang yang dipimpinnya. Pemimpin pendidikan harus terampil dalam bidang pendidikan. Dengan keterampilan tersebut diharapkan pemimpin dapat membantu stafnya dalam mengatasi masalah-masalah yang sedang dihadapi.


C. Supervisi
Beberapa kenyataan menunjukkan bahwa para pelaksana supervisi pendidikan cenderung mempersepsikan supervisi pembelajaran adalah sama dengan penilaian dan inspeksi. Realita pelaksanaan supervisi pembelajaran cenderung menilai dan mengawasi. Realita pelaksanaan supervisi pembelajaran cenderung pada aspek teknis administratif. Padahal supervisi pembelajaran bukanlah penilaian dan inspeksi.

1. Konsep Supervisi Pembelajaran
Sering dijumpai adanya seorang supervisor dalam melaksanakan supervisi pembelajaran hanya datang ke sekolah dengan membawa instrumen pengukuran performa guru. Kemudian masuk ke kelas melakukan pengukuran terhadap performa guru yang sedang mengajar. Setelah itu, selesailah tugasnya, seakan-akan supervisi pembelajaran sama dengan penilaian-penilaian performa mengajar guru, padahal secara teoritik tidaklah demikian.
Perilaku supervisi pembelajaran sebagaimana digambarkan di atas merupakan salah satu contoh perilaku supervisi pembelajaran yang salah. Perilaku supervisi pembelajaran yang demikian sama sekali tidak akan memberikan pengaruh terhadap peningkatan kualitas perfoma guru dalam mengelola proses pembelajaran. Seandainya memberikan pengaruh, pengaruhnya sangat kecil artinya bagi peningkatan kualitas performa guru dalam mengelola proses belajar-mengajar. Supervisi pembelajaran sama sekali bukan penilaian performa guru.
Secara konseptual, sebagaimana ditegaskan Glickman (1981), supervisi pembelajaran adalah serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses belajar-mengajar demi pencapaian tujuan pembelajaran. Supervisi pembelajaran merujpakan upaya membantu guru-guru mengembangkan kemampuannya mencapai tujuan pembelajaran (Daresh, 1989). Dengan demikian, berarti, esensial supervisi pembelajaran itu sama sekali bukan menilai performa guru dalam mengelola proses belajar-mengajar, melainkan membantu guru mengembangkan kemampuan profesionalismenya.
Meskipun demikian, supervisi pembelajaran tidak bisa terlepas dari penilaian performa guru dalam mengelola proses belajar mengajar. Apabila di atas dikatakan, bahwa supervisi pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses belajar-mengajar, maka menilai performa guru dalam mengelola proses belajar-mengajar merupakan salah satu kegiatan yang tidak bisa dihindarkan prosesnya (Sergiovanni, 1987). Sergiovanni (1987) menegaskan bahwa refleksi praktis penilaian performa guru dalam supervisi pembelajaran adalah melihat realita kondisi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti berikut.
a. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam kelas?
b. Apa yang sebenarnya dilakukan oleh guru dan murid-murid di dalam kelas?
c. Aktivitas-aktivitas mana dari keseluruhan aktivitas di dalam kelas itu yang berarti bagi guru dan murid?
d. Apa yang telah dilakukan oleh guru dalam mencapai tujuan pembelajaran?
e. Apa kelebihan dan kekurangan guru dan bagaimana cara mengembangkannya?


2. Prinsip-prinsip Supervisi Pembelajaran
Konsep dan tujuan supervisi pembelajaran, sebagaimana dikemukakan oleh para teoritikus supervisi pembelajaran di muka, memang tampak idealis bagi para praktisi supervisi pembelajaran. Akan tetapi, memang demikianlah seharusnya kenyataan normatif konsep dasarnya. Para kepala sekolah baik suka maupun tidak suka harus siap menghadapi problema dan kendala dalam melaksanakan supervisi pembelajaran. Adanya problema dan kendala tersebut sedikit banyak bisa diatasi apabila dalam pelaksanaan supervisi pembelajaran kepala sekolah menerapkan prinsip-prinsip supervisi pembelajaran.
Semua ini merupakan prinsip-prinsip supervisi pembelajaran modern yang harus direalisasikan pada setiap proses supervisi pembelajaran di sekolah-sekolah. Selain tersebut di atas, berikut ini ada beberapa prinsip lain yang harus diperhatikan dan direalisasikan oleh supervisor dalam melaksanakan supervisi pembelajaran, yaitu sebagai berikut.
a. supervisi pembelajaran harus mampu menciptakan hubungan kemanusiaan yang harmonis.
b. supervisi pembelajaran harus dilakukan secara berkesinambungan. Ketiga, supervisi pembelajaran harus demokratis.
c. program supervisi pembelajaran harus integral dengan program pendidikan.
d. supervisi pembelajaran harus komprehensif.
e. supervisi pembelajaran harus konstruktif.
f. supervisi pembelajaran harus obyektif.


3. Prosedur Supervisi Pembelajaran
Esensial supervisi pembelajaran adalah membantu guru mengembangkan kemampuan, pengetahuannya sehingga ia semakin mampu memfasilisasikan belajar bagi murid-muridnya. Pertanyaannya sekarang bagaimana sebaiknya melaksanakan pembinaan keterampilan pembelajaran guru. Menurut Marks, Stoops dan Stoops (1985) ada lima fase dalam melaksanakan pembinaan keterampilan. Kelima fase tersebut meliputi: (1) menciptakan hubungan-hubungan yang harmonis; (2) analisis kebutuhan; (3) mengembangkan strategi dan media; dan (4) menilai dan revisi
Langkah 1: Menciptakan Hubungan yang Harmonis. Langkah pertama dalam pembinaan keterampilan pembelajaran guru adalah menciptakan hubungan yang harmonis antara supervisor dan guru, serta semua pihak yang terkait dengan program pembinaan keterampilan pembelajaran guru. Dalam upaya melaksanakan supervisi pembelajaran memang diperlukan kejelasan informasi antar personil yang terkait. Tanpa kejelasan informasi, guru akan kebingungan, tidak tahu yang diharapkan supervisor, dan meyakini bahwa tujuan pokok dalam pengukuran kemampuan guru, sebagai langkah awal setiap pembinaan keterampilan pembelajaran melalui supervisi pembelajaran, adalah hanya untuk mengidentifikasi guru yang baik dan yang jelek dalam mengajar. Padahal seandainya ada kejelasan informasi, tentu tidak akan terjadi guru yang demikian.
Ada sejumlah prinsip komunikasi yang harus diterapkan oleh supervisor, sebagaimana dikemukakan oleh Marks, Stoops dan Stoops, sebagai berikut.
1. Berbicaralah sebijaksana dan sebaik mungkin
2. Ikutilah pembicaraan orang lain secara saksama
3. Ciptakan hubungan interpersonal antar personil
4. Berpikirlah sebelum berbicara
5. Ikutilah norma-norma yang berlaku pada latar sekolah
6. Usahakanlah untuk memahami pendapat orang lain
7. Konsentrasikan pada pesanmu, bukan pada dirimu sendiri
8. Kumpulkan materi untuk mengadakan diskusi bila perlu
9. Persingkat pembicaraan
10. Ciptakan ketidaksanggupan
11. Bersemangatlah
12. Raihlah sikap orang lain untuk membantu program
13. Berkomunikasilah dengan “eye communication”
14. Selalu mencoba
15. Jadilah pendengar yang baik
16. Ketahuilah kapan sebaiknya berhenti berkomunikasi

Langkah II: Analisis Kebutuhan. Sebagai langkah kedua dalam pembinaan keterampilan pembelajaran guru adalah analisis kebutuhan (needs assessment). Secara hakiki, analisis kebutuhan merupakan upaya menentukan perbedaan antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dipersyaratkan dan yang secara nyata dimiliki. Prinsip supervisi pembelajaran yang ketujuh, sebagaimana telah dikemukakan di muka, adalah obyektif, artinya dalam penyusunan program supervisi pembelajaran harus didasarkan pada kebutuhan nyata pengembangan profesional guru. Dalam upaya memenuhi prinsip ini diperlukan analisis kebutuhan tentang keterampilan pembelajaran guru yang harus dikembangkan melalui supervisi pembelajaran. Adapun langkah-langkah menganalisis kebutuhan sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan atau masalah-masalah pendidikan – perbedaan (gap) apa saja yang ada antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang nyata dimiliki guru dan yang seharusnya dimiliki guru? Perbedaan di kelompok, disintesiskan, dan diklasifikasi.
2. Mengidentifikasi lingkungan dan hambatan-hambatannya.
3. Menetapkan tujuan umum jangka panjang.
4. Mengidentifikasi tugas-tugas manajemen yang dibutuhkan fase ini, seperti keuangan, sumber-sumber, perlengkapan dan media.
5. Mencatat prosedur-prosedur untuk mengumpulkan informasi tambahan tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki guru. Pergunakanlah teknik-teknik tertentu, seperti mengundang konsultan dari luar sekolah, wawancara, dan kuesioner.
6. Mengidentifikasi dan mencatat kebutuhan-kebutuhan khusus pembinaan keterampilan pembelajaran guru. Pergunakanlah kata-kata perilaku atau performansi.
7. Menetapkan kebutuhan-kebutuhan pembinaan keterampilan pembelajaran guru yang bisa dibina melalui teknik dan media selain pendidikan.
8. Mencatat dan memberi kode kebutuhan-kebutuhan pembinaan keterampilan pembelajaran guru yang akan dibina melalui cara-cara lainnya.

Langkah III: Fase Pelaksanaan – Pengembangan Strategi dan Media. Setelah tujuan-tujuan pembinaan keterampilan pembelajaran berdasarkan kebutuhan-kebutuhan pembinaan yang diperoleh melalui analisis kebutuhan di atas, supervisor menganalisis setiap tujuan untuk menentukan bentuk-bentuk teknik dan media supervisi pembelajaran yang akan digunakan. Menurut Gwynn (1961), teknik-teknik supervisi bila dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu teknik supervisi individual dan teknik supervisi kelompok. Tujuan pengembangan strategi dan media supervisi pembelajaran ini adalah.
1. untuk mendaftar pembinaan-pembinaan keterampilan pembelajaran yang akan dilakukan dengan menggunakan teknik supervisi individual.
2. untuk mendaftar pembinaan keterampilan pembelajaran yang akan dilakukan melalui teknik supervisi kelompok dan
3. untuk mengidentifikasi dan memilih teknik dan media supervisi yang siap digunakan untuk membina keterampilan pembelajaran guru yang diperlukan.
Setelah mengembangkan teknik dan media supervisi pembelajaran, mulailah dilakukan pembinaan keterampilan pembelajaran guru dengan menggunakan teknik dan media tertentu sebagaimana telah dikembangkan. Mengenai teknik-teknik supervisi, baik yang individual maupun kelompok, dan medianya akan diuraikan secara khusus pada akhir bab ini.
Langkah IV: Penilaian, Penilaian merupakan proses sistematik untuk menentukan tingkat keberhasilan yang dicapai. Dalam konteks supervisi pembelajaran, penilaian merupakan proses sistematik untuk menentukan tingkat keberhasilan yang dicapai dalam pembinaan keterampilan pembelajaran guru. Tujuan penilaian pembinaan keterampilan pembelajaran, yaitu.
Langkah V: Revisi. Sebagai langkah terakhir dalam pembinaan keterampilan pembelajaran guru adalah merevisi program pembinaan. Revisi ini dilakukan seperlunya, sesuai dengan hasil penilaian yang telah dilakukan. Langkah-langkahnya sebagai berikut.
1. me-review rangkuman hasil penilaian
2. apabila ternyata tujuan pembinaan keterampilan pembelajaran guru tidak dicapai, maka sebaiknya dilakukan penilaian ulang terhadap pengetahuan, keterampilan dan sikap guru yang menjadi tujuan pembinaan
3. apabila ternyata memang tujuannya belum tercapaim maka mulailah merancang kembali program pembinaan keterampilan pembelajaran guru, dan
4. mengimplementasikan program pembinaan yang telah dirancang kembali.
Dalam proses supervisi klinik perilaku supervisor menentukan keberhasilan dalam membantu mengembangkan guru. Menurut Glickman (1981), perilaku supervisor dalam proses supervisi pengajaran meliputi; (1) mendengarkan, (2) mengklarifikasi, (3) mendorong, (4) mengpresentasikan, (5) memecahkan masalah, (6) bernegosiasi, (7) mendemonstrasikan, (8) memastikan, (9) standarisasi, dan (10) menguatkan.

5. Teknik-teknik Supervisi Pembelajaran
Ada bermacam-macam teknik supervisi pembelajaran dalam upaya pembinaan keterampilan pembelajaran guru. Menurut “The Twelfth Yearbook of the Departement of Supervisor and Director of Instruction” ada sejumlah teknik supervisi yang sangat bermanfaat bagi pembinaan guru, sebagaimana dikutip oleh Marks, Stoops, dan Stoops. Dalam hal ini meliputi pertemuan-pertemuan staf kunjungan supervisi, buletin profesional, perpustakaan profesional, laboratorium kurikulum, penilaian guru, demonstrasi mengajar, pengembangan kurikulum, pengambangan petunjuk pembelajaran, darmawisata, lokakarya, kunjuungan antarkelas, bacaan profesional, dan survei masyarakat-sekolah.
Menetapkan teknik-teknik supervisi pembelajaran yang tepat tidaklah mudah. Seorang supervisor, selain harus mengetahui aspek atau bidang keterampilan yang akan dibinakan, juga harus mengetahui karakteristik setiap teknik di atas dan sifat atau kepribadian guru, sehingga teknik yang digunakan betul-betul sesuai dengan guru yang sedang dibina melalui supervisi pembelajaran. Sehubungan dengan kepribadian guru, Lucio dan McNeil (1979) menyarankan agar supervisor mempertimbangkan enam faktor kepribadian guru, yaitu kebutuhan guru, minat guru, bakat guru, temperamen guru, sikap guru, dan sifat-sifat somatic guru.

D. Motivasi Guru
Pada dasarnya supervisi pembelajaran itu merupakan upaya profesionalisasi guru. Supervisi pembelajaran itu dapat dikatakan baik apabila keberadaannya Seseorang akan bekerja secara profesional apabila ia memiliki kemampuan (ability) dan motivasi (motivation). Maksudnya adalah seseorang akan bekerja secara profesional apabila ia memiliki kemampuan kerja yang tinggi dan kesungguhan atau motivasi untuk mengerjakannya dengan sebaik-baiknya. menurut Glickman (1981) ada dua apek pada guru yang harus dipertimbangkan oleh supervisor sebelum menentukan orientasinya, yaitu (1)komitmen guru (teacher’s commitment) dan (2) kemampuan berpikir guru secara abstrak (teacher’s ability to think abstractly).
Aspek kedua yang harus dipertimbangkan dalam menentukan orientasi perilaku supervisi pengajaran adalah tingkat abstraksi guru. Tingkat abstraksi guru yang dimaksudkan di sini adalah tingkat kemampuan guru mengelola pengajaran, mengklarifikasi masalah-masalah pengajarannya (pengelolaan, disiplin, pengorganisasian dan minat murid), menentukan alternatif pemecahan masalah, dan kemudian merencanakan tindakan-tindakannya. Hasil penelitian Harvey (1966) dan Hunt dan Joyce (1967) menunjukkan bahwa guru-guru tingkat perkembangan kognitif tinggi, dimana pemikiran abstrak atau simboliknya sangat dominan mampu berfungsi dengan lebih kompleksitas di dalam kelas.
Menurut Glickman (1981) tingkat abstraksi guru terbentang dalam satu garis kontinum, mulai dari rendah, menengah dan tinggi, sebagaimana terlihat pada gambar 2. Guru-guru yang memiliki kemampuan berpikir abstrak rendah tidak merasa bahwa mereka memiliki masalah-masalah pengajaran, atau apabila mereka merasakannya mereka sangat bingung tentang masalahnya. Mereka tidak tahu apa yang bisa dikerjakan. Guru-guru yang memiliki kemampuan berpikir abstrak menengah biasanya bisa mendefinisikan masalah berdasarkan bagaimana mereka melihatnya. Mereka bisa memikirkan satu atau dua kemungkinan tindakan, tetapi mereka mengalami kesulitan dalam memikirkan rencana yang komprehensif. Guru-guru yang memiliki kemampuan abstrak tingkat tinggi bisa memandang masalah-masalah pengajaran dari banyak perspektif (diri sendiri, murid, orang tua, administrator, dan alat pelajaran), dan mengumpulkan banyak rencana alternatif. Selanjutnya mereka bisa memilih satu rencana dan memikirkan langkah-langkah pelaksanaan.
Komitmen sangat berhubungan dengan motivasi kerja guru dalam mengelola proses belajar mengajar. Dalam bab ini akan dibahas motivasi kerja guru dan bagaimana cara supervisor membinanya sehingga selain memiliki kemampuan, ia juga memiliki kemauan mengelola proses belajar mengajar. Motivasi kerja merupakan salah satu variabel yang sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas performansi kerja seseorang. Para teoritisi banyak menekankan pentingnya pembinaan motivasi kerja guru sebagai upaya meningkatkan kualitas performansi kerjanya, dalam mengelola proses belajar mengajar.

1. Konsep Motivasi
Motivasi merupakan kemauan (willingness) untuk mengerjakan sesuatu (Robbins, 1984). Kemauan tersebut tampak pada usaha seseorang untuk mengerjakan sesuatu. Seseorang yang memiliki motivasi tinggi akan lebih keras berusaha daripada seseorang yang memiliki motivasi rendah. Tetapi motivasi bukanlah perilaku. Ia merupakan proses internal yang kompleks (Huse dan Bowditch 1973) yang tidak bisa diamati secara langsung, melainkan bisa dipahami melalui kerasnya usaha seseorang dalam mengerjakan sesuatu.
Secara teknis, proses dasar motivasional seseorang berawal dari adanya kekurangan dalam diri seseorang (innerdeficiencies) atau kebutuhan yang belum terpenuhi (unsatisfied needs). Kekurangan ini akan menimbulkan ketegangan (tension) yang mendorong seseorang untuk bertindak (drive). Selanjutnya dorongan ini membangkitkan seseorang untuk bertindak (behavior) untuk mencapai tujuan tertentu. Apabila tujuan ini tercapai berarti kekurangan atau kebutuhannya terpenuhi (satisfied need) dan sekaligus menghilangkan ketegangan. Sebaliknya, apabila tujuan ini belum tercapai, berarti kebutuhannya belum juga terpenuhi, maka akan timbul perilaku yang tidak tepat (inappropriate) dalam bentuk penyerangan (aggression) atau ketidakhadiran (absenteeism). Gambar 4 berikut, secara rinci menjelaskan proses motivasional dalam diri seseorang.
Dengan demikian, sebenarnya motivasi seseorang dalam organisasi, misalnya guru dalam sekolah sebagai pendidik formal, berangkat dari adanya kebutuhan dalam dirinya. Kebutuhan ini membuat orang berperilaku atau bertindak untuk memenuhinya. Dengan perkataan lain, bahwa seseorang itu melakukan aktivitas tertentu selalu didorong oleh motif tertentu, yaitu upaya memenuhi kebutuhan dirinya. Itulah sebabnya, para teoritisi psikologi pendidikan yang membahas tentang motivasi selalu memasukkan teori-teori kebutuhan sebagai salah satu bagian dari pembahasannya.
2. Motivasi Kerja Guru
Telah banyak teorit psikologi yang telah mengemukakan teori-teorinya tentang kebutuhan dasar manusia. Teori-teori ini didasarkan pada hasil-hasil penelitian yang dilakukan selama bertahun-tahun, diantaranya teori kebutuhan yang sangat dikenal adalah teori hierarki kebutuhan (The hierarchy of need theory), yang dikemukakan oleh Abraham Maslow. Menurut Maslow, teori kebutuhan manusia ERG (ERG theory of needs), teori kebutuhan manusia menurut Herbert A. Carroll dan David C. McClelland.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, kebutuhan apa saja yang mendorong guru bekerja? atau, apa yang diinginkan guru melalui kerjanya?. Wiles (1955) mengidentifikasi delapan kebutuhan guru, yaitu
1. rasa aman dan hidup layak
2. kondisi kerja yang menyenangkan
3. rasa diikutsertakan
4. perlakuan yang jujur dan wajar
5. rasa mampu
6. pengakuan dan penghargaan
7. ikut ambil bagian dalam pembuatan kebijakan sekolah, dan
8. kesempatan mengembangkan self respect
Galloway dan kawan-kawannya (1985) pernah melakukan penelitian tentang sumber-sumber kepuasan dan ketidakpuasan (Sources of satisfaction and dissatisfaction) bagi guru-guru Sekolah Dasar New Zealand. Berdasarkan hasil penelitian ini D. Galloway dan kawan-kawannya berhasil mengklasifikasikan aspek-aspek di mana sebagian besar guru merasa sangat puas, yaitu
1. hubungan dengan murid
2. hubungan dengan guru-guru lain
3. kebebasan memilih metoda pengajaran
4. jadwal aktivitas atau program
5. kebebasan memilih materi pelajaran
6. jumlah mengajar setiap minggu
7. hubungan dengan staf senior di sekolah
8. tingkat prestasi murid di kelasnya
9. pengalokasian guru untuk mengajar unit, kelas khusus, dan
10. perilaku umum murid-murid di kelasnya.


2. Pembinaan Motivasi Kerja Guru
Motivasi kerja guru bisa rendah bisa tinggi. Seorang guru yang memiliki motivasi kerja tinggi akan memiliki kemauan yang keras atau kesungguhan hati untuk mengerjakan tugas-tugasnya, dan akibatnya produktivitasnya akan meningkat. Sebaliknya, seorang guru yang memiliki kerja yang rendah akan kurang memiliki kemauan keras untuk mengerjakan tugas-tugasnya, dan akibatnya produktivitasnya menurun.
Konsisten dengan konsep motivasi dan teori kebutuhan yang telah diuraikan di muka, seorang guru akan memiliki motivasi kerja yang tinggi apabila ia merasa bahwa segala kebutuhannya terpenuhi melalui kerjanya. Apabila ia merasa bahwa pekerjaan yang dilakukannya tidak akan mampu memenuhi kebutuhannya, maka, menurut Argyris (1957), ia akan kurang bersemangat, penuh rasa ragu akan masa depannya, bahkan kemungkinan besar akan meninggalkan pekerjaan tersebut untuk mencari pekerjaan lain yang sekiranya dapat memenuhi kebutuhannya. Ini berarti, juga ditegaskan oleh Certo (1985) dan Owens (1987) bahwa pada dasarnya memotivasi kerja guru itu tidak lain adalah upaya pemuasan atau pemenuhan segala kebutuhan guru. Menurut Huse dan Bowditch (1973), ada tiga model memotivasi kerja seseorang, yaitu (1) model kekuatan dan ancaman; (2) model ekonomik/mesin; (3) model pertumbuhan-sistem terbuka
Secara manajerial seorang kepala sekolah atau supervisor terlebih dahulu harus menentukan seberapa tinggi tingkat kepuasan kerja guru. Dengan kata lain, ada dua langkah pokok dalam membina motivasi kerja guru, yaitu
1. mengukur tingkat kepuasan kerja guru,
2. menentukan alternatif manajerial yang akan ditempuh untuk membina motivasi kerja guru


E. Penutup

1. Keefektifan suatu sekolah dalam menggapai visi, mengemban misi, dan menjalankan aktivitas pendidikan mempersyaratkan adanya seorang kepala sekolah yang efektif, yaitu seorang kepala sekolah yang mampu memimpin, melakukan supervisi, dan memotivasi guru. Oleh karena itu seorang kepala sekolah dipandang perlu memiliki konsep dan strategi kepemimpinan, supervisi pembelajaran, dan motivasi guru.

Tidak ada komentar: