Jumat, 21 November 2008

KOMPETENSIKEPALA SEKOLAH

MEMBANDINGKAN PROGRAM PEMENTORAN DANPROGRAM KEMITRAAN YANG KEDUANYABERFUNGSI UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSIKEPALA SEKOLAH
Siusana KweldjuUniversitas Negeri MalangAbstrak
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menunjukkan pentingnya program pementoran kepala sekolah dalam mempersiapkan seorang kepala sekolah baru, dan dalam hal tertentu juga untuk meningkatkan kompetensi seorang kepala sekolah yang bertugas. Di Indonesia, kita mengenal Program Kemitraan yang berakar dari program pementoran. Namun, ada perbedaan di antara keduanya. Artikel ini juga bertujuan untuk menunjukkan perbedaan-perbedaan pementoran yang ada di beberapa negara yang berbeda. Selain itu, dibahas juga mengapa pementoran atau program kemitraan memang dibutuhkan, apa yang dipelajari, beserta keuntungan, kerumitan, dan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan program pementoran.
Kata kunci: pementoran, kemitraan, perkepalasekolahan.
PENDAHULUAN
Artikel ini ditulis untuk melihat model dan pelaksanaan program pementoran kepala sekolah atau program induksi yang terjadi di negara lain, yang dapat dibandingkan dengan Program Kemitraan Kepala Sekolah yang dilaksanakan di Indonesia. Program Kemitraan Kepala Sekolah di Indonesia telah berlangsung sebanyak enam angkatan yang melibatkan 596 sekolah unggul dan 901 sekolah imbas. Sebenarnya istilah kemitraan atau partnership tidak saja digunakan di Indonesia, tetapi juga digunakan di negara lain; misalnya, di negara bagian Northern Colorado, Amerika Serikat. Hanya saja, modelnya berbeda (Whitaker, 2006). Istilah lain yang juga digunakan adalah program induksi, seperti yang digunakan di negara bagian Alabama, Missisipi dan South Carolina, AS. Namun, program induksi di Alabama itu diperuntukkan kepada mahasiswa program master yang mempersiapkan diri untuk menjadi kepala sekolah (Petzko, 2004).
Makna pementoran yang terjadi di negara lain biasanya melibatkan secara eksplisit, dua orang kepala sekolah; yang satu adalah kepala sekolah yang berpengalaman dan yang lebih berhasil; dan yang lain adalah kepala sekolah yang masih baru atau yang masih mempersiapkan diri untuk menjadi kepala sekolah. Program Kemitraan yang ada di Indonesia lebih mendahulukan kesetaraan sehingga tidak ada pernyataan tentang adanya mentor atau pamong dan protégé atau pemagang, atau pembimbingan dari kepala sekolah yang lebih berpengalaman kepada kepala sekolah yang sedang belajar. Oleh karena itu, istilah yang digunakan adalah kemitraan bukan pementoran, yang mengasumsikan bahwa dua kepala sekolah yang bermitra dapat saling belajar dan belajar bersama-sama. Yang berbeda dari dua kepala sekolah tersebut adalah kualitas sekolah yang dipimpinnya. Yang satu adalah sekolah yang lebih maju dan disebut sekolah unggul, dan yang lain adalah sekolah yang sedang berada dalam proses untuk menjadi sekolah unggul dan disebut sekolah imbas. Memang pada praktiknya kepala sekolah dari sekolah unggul berfungsi sebagai model bagi kepala sekolah sekolah imbas, karena ada pernyataan yang menghendaki bahwa sekolah unggul adalah sekolah yang kepala sekolahnya memiliki track record yang berkualitas dalam memimpin, mengelola dan membina sekolah yang bermutu, sedangkan tidak ada persyaratan yang sama bagi sekolah imbas.
KEPALA SEKOLAH ADALAH PEMIMPIN PENGAJARAN
Perubahan zaman yang semakin cepat menyebabkan seseorang yang ingin maju dan yang ingin lebih banyak berkontribusi kepada masyarakatnya perlu menanggapi perubahan itu dengan lebih cerdas dan tanggap. Dia perlu memiliki keterampilan-keterampilan yang inovatif dan yang lebih bermanfaat. Dalam kondisi yang seperti ini, manajemen sekolah semakin diharapkan berbasis sekolah. Dengan demikian, peran kepala sekolah semakin menentukan dalam kemajuan sekolah, peningkatan mutu pendidikan, dan juga sejauh mana dia dapat menjadi pelopor dalam menghantarkan anak didiknya menjadi sumber daya manusia yang dapat diperhitungkan di masyarakat yang semakin membingungkan dan sarat dengan tuntutan-tuntutan. Kepala sekolah adalah pemimpin pengajaran (instruksional) di masyarakat. Dia yang mengarahkan sekolah untuk memfokuskan diri pada pengajaran, memberikan arahan pada kurikulum, dan memberikan kepemimpinan kepada guru.
Sekalipun kepala sekolah memiliki peran yang sangat penting bagi mutu pendidikan, hingga beberapa tahun yang lalu, setelah dilakukan penelitian di beberapa negara maju, Hickcox (2002) menemukan bahwa kompetensi kepala
sekolah belum mendapatkan perhatian yang cukup. Lee, et al. (2000) juga mendapatkan bahwa kepala sekolah belum cukup akuntabel dan masih memimpin secara paternalistik. Timbullah sebuah pertanyaan, siapakah yang dapat memimpin sekolah kita di abad ke-2 1, terutama untuk menghantarkan siswa kita sekarang menjadi sumber daya manusia 30 tahun mendatang?.
Keterbatasan pada kompetensi kepala sekolah perlu segera diatasi, karena keberhasilan sebuah sekolah tak dapat dipisahkan dari kepemimpinan yang ada di sekolah tersebut (Sergiovanni, 1991). Upaya memang telah dilakukan dengan pelatihan-pelatihan bagi mereka yang akan menjadi kepala sekolah. Pelatihan­pelatihan dilakukan pula pada yang baru menjadi kepala sekolah, dan mereka yang sudah berpengalaman menjadi kepala sekolah. Namun, pelatihan-pelatihan itu di banyak negara masih bersifat informal, ad hoc, dan dengan pendekatan yang tak terkoordinasi. Pelatihan untuk kepala sekolah di zaman yang cepat berubah ini perlu lebih intensif dan terpadu. Bahkan dibutuhkan juga sebuah pusat jaringan kepemimpinan internasional bagi kepala sekolah sehingga pusat ini dapat membantu kepala sekolah untuk belajar dan berkembang (Bush & Jackson, 2002). Jaringan internasional ini sekarang sudah terbentuk bagi kepala sekolah di Asia Tenggara, yaitu pada saat diselenggarakannya Roundtable Meeting II of ASEAN Education leaders di Bali pada tanggal 28-29 November 2007. Direktur Tenaga Kependidikan Direktorat Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Republik Indonesia sebagai ketuanya.
Salah satu cara untuk mempersiapkan kepala sekolah adalah dengan pementoran secara terstruktur. Mula pertama pementoran sebenarnya bukan terjadi pada bidang perkepalasekolahan. Singapura, misalnya, bahkan memiliki seorang menteri mentor, yang tidak lain adalah pendiri negara itu sendiri, Lee Kuan Yew. Pementoran sudah dikenal sebagai cara untuk mengembangkan keprofesionalan seorang eksekutif dan juga sebagai cara untuk mengembangkan sebuah organisasi. Keterampilan untuk menjadi mentor yang baik adalah juga wujud dari kepemimpinan seorang kepala sekolah terhadap para guru dan tenaga kependidikan lainnya di sekolah yang dipimpinnya. Sistem pementoran telah berlangsung di negara-negara maju, seperti Australia, Amerika Serikat, Singapura, Inggris, dan Selandia Baru.
PEMENTORAN
Makna Pementoran
Kata mentor bermula dari nama seorang tokoh yang bernama Mentor dalam epik Odyssey yang ditulis oleh Homer. Mentor sebagai tokoh di dalam epik tersebut
bertugas untuk menjaga, melindungi dan memberi nasihat kepada anak laki-laki Ulyssus. Berkembang dari cerita ini, pementoran adalah hubungan yang intensif antara seorang profesional yang berpengalaman dengan yang kurang berpengalaman. Hubungan ini dimaksudkan untuk memberikan bimbingan bagi pengembangan karir dan pengembangan psikososial seorang pemagang (Douglas, 1997). Pementoran adalah suatu proses yang sebenarnya tak terelakkan bagi siapa pun yang ingin maju. Seorang juara dunia pun membutuhkan seorang pelatih. Pada dasarnya dalam pementoran protégé atau pemagang akan mempelajari bahwa kepemimpinan itu sebenarnya adalah gabungan dari strategi dan karakter (Knuth & Banks, 2006). Namun, pementoran bukan sekedar pelatihan. Pelatihan biasanya memiliki lingkup yang lebih sempit dibanding pementoran dan dalam jangka waktu yang lebih pendek.
Pementoran formal merupakan kegiatan praktek pengalaman lapangan yang menjadi bagian dari sebuah program pendidikan yang dilaksanakan oleh sebuah perguruan tinggi. Dengan demikian, pementoran merupakan pendekatan yang terstruktur dan terkoordinasi yang memungkinkan setiap individu, baik mentor maupun protégé sepakat untuk terlibat dalam hubungan pribadi yang kerahasiaannya terjaga, dalam rangka mempersiapkan pengembangan dan pertumbuhan profesional, dan menciptakan lingkungan yang dapat mendukung perkembangan pribadi (Hansfort et al., 2003).
Pementoran tidak sama dengan bantuan atau penutoran yang dilakukan oleh sejawat, karena pementoran adalah wahana pengembangan yang melibatkan seorang mentor yang memang memiliki pengalaman, pengaruh dan prestasi yang jauh lebih tinggi dari protégé. Kepala sekolah mentor bagi seorang kepala sekolah protégé biasanya dipilih dari sekolah yang keadaannya mirip dengan sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah protégé tersebut. Kemiripan lingkungan sekolah ini memungkinkan bagi seorang protégé untuk membangun dialog yang otentik, dan terbentuknya proses refleksi pribadi dengan maksimal. Di sini letak perbedaaan program pementoran dan kemitraan. Program Kemitraan lebih berpusat pada sekolah, bukan pada kepala sekolahnya; artinya dua kepala sekolah yang bermitra berasal dari dua sekolah dengan kondisi yang berbeda, yaitu yang unggul dan yang dalam proses untuk menjadi unggul. Dengan demikian, diharapkan dapat terjadi percepatan bagi terbentuknya sekolah unggul yang baru.
Pementoran bertujuan untuk membangun keterampilan seorang praktisi dengan mendalam. Seorang kepala sekolah tidak hanya membutuhkan pengetahuan akademik, tetapi juga keterampilan praktis, melalui pemahaman terhadap liku-liku persoalan yang terjadi di lapangan, yang hanya dapat dipelajari melalui
pementoran.Untuk pertumbuhan pribadi, pementoran membutuhkan paling sedikit enam bulan, dan untuk perubahan organisatoris yang sistematik dibutuhkan upaya minimal tiga hingga lima tahun.
Sullivan–Brown (2002) menggarisbawahi bahwa upaya yang hanya dilakukan pada permukaan saja bukanlah pementoran. Bila seseorang tahu benar bagaimana mengelola keuangan, paham tentang perilaku organisasi, membuat perencanan strategis, menjalankan resolusi konflik, melakukan relasi interpersonal atau komunikasi, belum tentu dia dapat memimpin dengan baik. Seorang pemimpin perlu memiliki kemampuan dalam menangani konflik-konflik kepentingan dan harapan dalam kondisi yang rumit dan sulit diprediksi dengan bijaksana dan sehat.
Jenis Pementoran
Ada dua jenis pementoran, yaitu pementoran untuk sosialisasi profesi dan untuk sosialisasi organisasi. Pementoran dalam proses sosialisasi profesi terjadi pada saat seseorang mempelajari bagaimana menjadi kepala sekolah. Proses ini dilakukan sebelum pengangkatan. Sebaliknya, pementoran untuk sosialisasi organisasi terjadi pada saat seseorang mempelajari tentang pengetahuan, nilai-nilai dan tingkah laku yang dibutuhkan untuk menjalankan peran khusus dalam sebuah organisasi (Weindling & Dimmock, 2006).
Hal-hal yang dipelajari dalam proses sosialisasi profesi adalah kepemimpinan, manajemen dan bagaimana menjalankan tugas-tugas manajemen, dan pemodelan. Pemodelan adalah belajar dengan mengamati apa yang dapat dicontoh dan apa yang sebaiknya tidak dicontoh.
Pementoran yang dilakukan pada masa sosialisasi organisasi adalah untuk membantu seorang pemimpin baru mempelajari seluk-beluk yang ada pada sekolah yang dipimpinnya dan juga bagaimana memperbaiki sekolahnya itu. Pada masa sosialisasi organisasi ini, seorang kepala sekolah baru ingin menampilkan tanggung jawabnya, membuat perubahan-perubahan dan melakukan hal-hal yang dapat memajukan sekolah yang dipimpinnya. Namun, pada masa ini pula seorang kepala sekolah baru mendapatkan bahwa tidak selamanya dia dapat mempengaruhi stafnya, tetapi, sebaliknya, dia yang dipengaruhi oleh stafnya. Seorang kepala sekolah membutuhkan waktu untuk membuat sekolahnya terbentuk seperti apa yang diinginkannya. Seorang kepala sekolah yang berasal dari sekolah yang sama biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membuat perubahan, dibanding kepala sekolah hasil penunjukkan dari luar.
Ada beberapa tahap masa perkembangan bagi seorang kepala sekolah. Bila pementoran dilaksanakan, sifat pementoran hendaknya disesuaikan dengan tahapan perkembangan kepala sekolah tersebut, sebagai berikut.
1. Masa persiapan yaitu masa sebelum menjadi kepala sekolah.
2. Bulan-bulan pertama yaitu masa bagi kepala sekolah dalam menemukan banyak kejutan-kejutan baru.
3. Bulan ketiga hingga bulan keduabelas yaitu masa bagi kepala sekolah dalam melakukan pemantapan dan perubahan-perubahan, dan pada masa ini staf mengalami masa bulan madu dengan kepala sekolahnya dan siap untuk berubah.
4. Tahun kedua adalah masa bagi kepala sekolah untuk dapat mengevaluasi kelebihan dan kekurangannya sendiri.
5. Tahun ketiga hingga keempat adalah masa pemurnian bagi kepala sekolah untuk membenahi kurikulum setelah membenahi banyak hal yang lainnya.
6. Tahun kelima hingga ketujuh adalah masa konsolidasi, yaitu masa bagi kepala sekolah untuk mengevaluasi segala perubahan yang telah dilakukannya.
7. Tahun kedelapan hingga kesepuluh adalah masa plato, yaitu ketika kepala sekolah sudah sulit melakukan perubahan dan kemajuan, terkecuali bila dia menjadi kepala sekolah di sekolah yang lain (Windling & Dimmock, 2006).
Kondisi Pementoran di Beberapa Negara
Sistem pementoran di Singapura telah berjalan sejak tahun 1984. Kepala sekolah di Singapura dipilih dari wakil kepala sekolah. Wakil kepala sekolah terpilih akan mengikuti program Diploma in Educational Administration (DEA) penuh waktu selama satu tahun. Di dalam program ini pementoran yang terstruktur merupakan kegiatan yang sangat penting. Kepala sekolah mentor adalah kepala sekolah terpilih yang dapat dianggap sebagai model yang baik bagi calon-calon kepala sekolah. Selama dua bulan calon kepala sekolah dicangkokkan pada sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah mentor. Selama masa tersebut protégé membayangi kepala sekolah tersebut untuk mempelajari kepemimpinannya (Lee, 2002).
Berbeda dari Singapura, yang hanya wakil kepala sekolah dapat menjadi protégé dalam masa persiapannya untuk menjadi kepala sekolah, di Inggris sejak mulai diperkenalkannya program pementoran pada tahun 1992, guru yang berpengalaman dapat mengikuti program persiapan yang dikenal sebagai National Professional Qualification for Headship untuk dipilih menjadi kepala sekolah (Hansford & Ehrich, 2005). Program ini merupakan sebuah benchmark untuk
mendapatkan jabatan kepala sekolah. Namun, program ini bukan satu-satunya program untuk mengembangkan kompetensi seorang kepala sekolah. Kepala sekolah yang baru terpilih masih harus mengikuti Headteacher Induction Program. Pementoran adalah sebagian kegiatan dan menjadi kegiatan yang penting dalam program induksi.
Dimulai sejak tahun 80-an, pementoran minimal telah berjalan di 30 negara bagian di Amerika Serikat. Misalnya, Alburquerque Public Schools’ Extra Support for Principals, the Southern Regional Education Board’s Leadership Academy, the School Leadership Initiative Program, the Richardson Mentor Program, and the Aspiring Principal Program. Pementoran di AS diberlakukan kepada kepala sekolah baru pada beberapa tahun di awal masa jabatannya. Mentor juga harus mengikuti pelatihan dengan materi manajemen konflik, perumusan tujuan, cara menjadi pendengar aktif, menerima dan memberi umpan balik yang sangat mendukung refleksi diri (Olison, 2007). Lama program bervariasi. South Carolina Principal Induction Program, misalnya, dilaksanakan selama satu tahun, dari bulan Juli hingga bulan Juni, dan mentornya dipilih oleh pengawas sekolah; sementara Alabama mengharuskan dua tahun pementoran. Dimulai sejak tahun 2003 kepala sekolah-kepala sekolah di Detroit juga harus mengikuti program pementoran untuk manajemen keuangan, selama enam jam setiap bulan. Dalam hal ini, mentor bukan kepala sekolah, tetapi akuntan yang sudah berpengalaman selama lima tahun.
Program pementoran di Australia sudah dimulai sejak tahun 90-an. Namun, hingga saat ini program-program pementoran di Australia masih bersifat ad hoc, sangat bervariasi dan belum melembaga.
Tidak Mudah Menjadi Kepala Sekolah Baru
Pementoran dibutuhkan untuk mempersiapkan seorang kepala sekolah, karena menjadi kepala sekolah baru itu tidak mudah. Seorang kepala sekolah baru akan disoroti kinerjanya. Stafnya akan selalu mengamati dan berspekulasi tentang perubahan apa yang akan dibuatnya. Bila seorang kepala sekolah baru tidak membuat perubahan monumental apa pun, stafnya akan merasa bahwa dia tidak berbuat apa-apa. Namun, ironisnya, bila seorang kepala sekolah akan membuat perubahan yang monumental, pada saat itu tidak akan ada stafnya yang benar-benar bersedia mengikuti kebijakan yang dibuatnya (Capelluti & Nye, 2004).
Beberapa masalah yang dihadapi oleh kepala sekolah baru (Wendling & Dimmock, 326) adalah sebagai berikut.
1. Kerumitan yang disebabkan oleh gaya dan praktik kepala sekolah sebelumnya.
2. Keadaan gedung sekolah.
3. Komunikasi dan konsultasi dengan staf.
4. Membangun pencitraan sekolah di masyarakat.
5. Menghadapi staf yang kurang kompeten.
6. Semangat guru dan tenaga pendidikan lain yang kurang prima.
7. Keterbatasan anggaran sekolah.
8. Implementasi kebijakan baru dari pemerintah.
Kesulitan-kesulitan semacam ini membuat seorang kepala sekolah baru mengalami kelelahan fisik dan emosional yang tinggi. Di saat awal semacam ini dia hampir tidak mungkin melakukan kegiatan-kegiatan akademik. Yang dapat dilakukannya hanya membangun relasi kepercayaan dan juga menangani kasus­kasus pelanggaran kedisiplinan (Foster, 2002).
Mentor Membangun Karakter Dasar
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat membangun kepercayaan pada mereka yang dipimpinannya. Kepercayaan ini akan terwujud bila pemimpin tersebut memiliki komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang luhur. Perkataan pemimpin tersebut sama dengan tindaknya. Karakter memiliki bobot yang lebih tinggi dibanding strategi di dalam kepemimpinan. Lebih baik seorang pemimpin itu berkarakter tanpa strategi, daripada pemimpin yang berstrategi tetapi tidak memiliki karakter, terutama kepemimpinan pada sekolah yang kompleks, yang kepemimpinan mudah sekali dipolitisir. Karakter membangun kepercayaan, dan kepercayaan yang mengikat seorang pemimpin dan yang dipimpin. Hubungan ini yang membuat setiap orang memiliki kepuasan bekerja dan terdorong untuk berkarya (Knuth & Banks, 2006).
Bila setiap guru dan tenaga kependidikan di sekolah berkarya dengan baik, sekolah itu akan terus-menerus melakukan perubahan menuju ke kesempurnaan, dan sekolah itu menjadi sekolah yang efektif dalam menciptakan kemajuan-kemajuan dalam prestasi belajar siswa. Jadi, sekolah yang efektif, bukan sekedar sekolah yang stabil, tetapi sekolah yang memprioritaskan dan mempertahankan inisiasi-inisiasi perbaikan kunci (Knuth & Banks, 2006).
Keterampilan memimpin semacam ini hanya dapat dimiliki seorang kepala sekolah setelah menempuh waktu yang lama dalam mendiagnosa kebutuhan sekolahnya dan kesiapan dari stafnya. Kepala sekolah harus mampu menganalisa apa yang dibutuhkan guru dan juga keterbatasan yang dimiliki oleh guru, karena itu pementoran memungkinkan calon kepala sekolah mempelajari diagnose yang telah dikembangkan oleh seorang kepala sekolah yang telah berpengalaman dan berhasil.
Tidak saja pemimpin yang lambat untuk merespon kebutuhan yang membuat sekolah tidak efektif, tetapi kadang-kadang seorang pemimpin yang terlalu maju, akan membuat dirinya berjarak terlampau jauh dari guru yang dipimpinnya. Akibatnya, guru yang terbatas kemampuannya akan menjadi semakin frustrasi bila tidak mendapatkan bimbingan khusus untuk mengikuti arahan kepala sekolah.
Mentor Membangun Kompetensi Kepemimpinan
Dalam masa pementoran sebenarnya yang diharapkan dari seorang protégé adalah mempelajari bagaimana seorang kepala sekolah perlu menyiasati antara mengelola dan memimpin, juga bagaimana mengatasi permasalahan yang timbul karena adanya keterbatasan sumber daya dan permintaan yang tak kunjung berakhir, dan membangun budaya untuk perbaikan sekolah. Seorang mentor adalah kepala sekolah yang telah cukup berpengalaman mengatasi konflik yang sering muncul karena harapan-harapan yang saling bertentangan. Tahun-tahun pertama sebuah kepemimpinan selalu ditandai dengan kecemasan, frustrasi dan keragu-raguan. Bila seorang kepala sekolah tidak dapat mengatasi persoalan ini dia akan terus mengalami frustrasi tersebut, karena pada dasarnya persoalan itu akan terus berdatangan tanpa akhir. Seorang mentor diharapkan memiliki kekreatifitasan yang tinggi sehingga dia dapat membimbing protégé untuk memiliki keterampilan menghadapi persoalan-persoalan tersebut secara bertanggung jawab, asertif, dan banyak terlibat.
Dalam pengambilan keputusan sehari-hari, seorang kepala sekolah dihadapkan kepada pilihan yang mana yang harus dikedepankan. Stres sering menjadi persoalan utama. Bila kepala sekolah menuruti keinginan kantor dinas, mungkin dia akan mendapat protes keras dari para guru, dan bila mendengarkan guru, dia akan kehilangan hubungan baik dengan kantor dinas. Persoalan lain adalah bahwa setiap orang mengharapkan adanya reformasi, tetapi dalam pelaksanaannya tidak seorang pun siap berubah. Seorang kepala sekolah yang baik memiliki kiat yang tepat dalam menghadapi ekspektansi yang beragam ini dengan menggunakan semua sumber daya yang ada (Goens, 1998).
Seorang kepala sekolah akan sepenuhnya menyadari tentang sumber-sumber harapan yang dapat mempengaruhi kepemimpinannya. Wali murid sebagai sumber pengharapan pun sudah cukup rumit untuk dilayani, karena setiap wali murid dapat memiliki harapan yang berbeda pula. Begitu pula dengan seorang pengawas yang ada sekarang dapat memiliki harapan yang berbeda dari pengawas sebelumnya, dan seterusnya. Harapan dari masyarakat juga menyumbang kerumitan lain, karena keragaman anggota masyarakat yang berbeda menurut kultur, ekonomi, keyakinan
dan kebiasaan lainnya. Seorang kepala sekolah yang belum memiliki kepemimpinan yang tepat akan terus mengalami kesulitan dalam mengatasi harapan-harapan ini secara utuh. Dia hanya akan mengatasi bagian per bagian dari struktur sekolah yang ada, dan ada juga yang mudah menyerah dan tidak melakukan tindakan apa pun juga. Sumber-sumber pengharapan itu dapat digambarkan seperti gambar berikut.
Pemerintah
Pengawas Masyarakat
KepalaSekolah
Guru Orang tua

Siswa
Gambar Sumber-sumber Harapan yang Mempengaruhi Kepala Sekolah
Seorang protégé perlu mengalami sendiri bagaimana untuk menjadi seorang kepala sekolah yang efektif supaya nantinya mampu mengatasi persoalan-persoalan yang muncul dalam sekolah yang dipimpinnya. Kepala sekolah yang efektif perlu memiliki percaya diri, menyadari kekuatan yang dimilikinya, mampu membuat keputusan yang sulit, dan tidak sekedar menyenangkan setiap orang atau sebagian orang, memiliki keterampilan berkomunikasi, dan mampu mengembangkan keterampilan manajerial yang baik. Setiap saat seorang kepala sekolah perlu mengembangkan nilai-nilainya, yakin dengan tujuan yang akan dicapainya, cakap dapat menganalisis situasi, jujur dan jelas dalam berbahasa, tidak takut menghadapi konflik, dan tidak mencari kambing hitam. Dia juga cakap menggunakan intuisinya untuk melihat kesempatan-kesempatan baru, membuat skenario, dan melihat kekuasaan bukan untuk menguasai dan mengontrol, tetapi sebagai energi untuk membangun keteraturan. Menguasai itu menciptakan pembungkaman, dan pengontrolan itu menciptakan kelumpuhan. Sebaliknya, energi itu menciptakan kreatifitas, karena energi terbangun di atas sebuah wacana tentang gagasan-gagasan, dan relasi kemanusiaan (Goens, 1998). Untuk memiliki kompetensi yang semacam ini seorang calon kepala sekolah perlu belajar bagaimana memiliki tingkah laku yang efektif menurut Casavant & Cherkowski, 2001) adalah sebagai berikut.
1. Mendengarkan dan dapat merasakan apa yang dirasakan staf dan siswa.
2. Membangun hubungan batin dengan staf dan siswa.
3. Tampak terlibat di sekolah dan masyarakat.
4. Dapat didekati.
5. Menghargai kerahasiaan dan profesionalisme.
6. Memberdayakan, dan memberikan penghargaan kepada orang lain.
7. Mendorong staf dan kepemimpinan siswa.
8. Berkomunikasi dengan frekuensi yang cukup dan baik.
9. Memastikan terjalinnya lingkungan yang aman.
10. Memiliki kebijakan yang konsisten.
11. Memiliki visi yang jelas bagi tujuan sekolah.
12. Terorganisir dengan baik.
13. Mendahulukan siswa.
14. Menjadi pemimpin dalam pengajaran.
15. Mengharapkan dan meningkatkan pertumbuhan.
16. Siap mengambil resiko.
17. Memiliki kebijakan pintu terbuka.
18. Mendelegasikan tugas secara efektif.
19. Mengakui keberhasilan orang lain.
20. Meningkatkan kebanggaan sekolah.
21. Mengatasi persoalan dengan segera.
23. Melakukan refleksi diri.
24. Memimpin dengan memberi contoh.
25. Terlibat dalam pengembangan professional.
26. Tidak banyak meninggalkan sekolah.
27. Bersifat adil.
28. Tidak haus kekuasaan.
Keuntungan dan Permasalahan dalam Pementoran
Dari temuan di Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan Singapura didapatkan bahwa pementoran sangat berarti dalam membangun dukungan, empati, konseling, bertukar pikiran dan penyelesaian masalah, pengembangan profesionalisme, peningkatan rasa percaya diri, kesempatan untuk melakukan refleksi, kesempatan untuk membangun jaringan, mendapat umpan balik, mengelakkan isolasi, membangun kepercayaan dan saling menghormati (Hansforth dan Ehrich, 2006).
Pementoran tidak saja berguna bagi protégé, tetapi juga berguna bagi kepala sekolah mentor. Dalam hal ini kepala sekolah mentor pun dapat melakukan refleksi dan mempertajam keterampilannya sendiri. Dengan membantu protégé, seorang mentor akan lebih memiliki rasa percaya diri dan semakin bersungguh-sungguh
dalam berkarya, yang kemudian sangat bermanfaat bagi guru dan siswa di sekolahnya sendiri (Hopkins-Thompson, 2000).
Namun demikian, keberhasilan pementoran juga sangat ditentukan oleh perencanaan, model yang digunakan dan juga pelaksanaannya. Ada juga masalah dalam pementoran, sekalipun mentor telah dipilih melalui tahapan seleksi. Bila di Singapura mentor adalah benar-benar terseleksi dari kepala sekolah yang masih bertugas, di Amerika Serikat mentor diseleksi dari mantan kepala sekolah. Persoalan yang mungkin timbul dalam pementoran bagi protégé adalah tidak adanya kecocokan dalam keahlian dan perangai, terbatasnya waktu mentor, konflik yang muncul karena tingginya tuntutan dari mentor, dan tingginya kekritisan mentor. Permasalahan yang dirasakan oleh mentor adalah keterbatasan waktu yang mereka miliki untuk menjalankan perannya, ketidakcocokan perangai dan minat, keterampilan protégé dalam menyimak, beban kerja tambahan dan tanggung jawab, membangun komunikasi awal, tuntutan dari pemerintah, frustrasi dengan sikap prostégé.
Faktor-faktor Keberhasilan Program Pementoran
Program pementoran perlu dilaksanakan dengan perencanaan yang matang dengan komitmen organisatoris. Dibutuhkan juga rumusan yang jelas bagi perubahan tingkah laku yang akan dicapai dan juga peran seorang mentor. Umpan balik perlu diberlakukan. Dalam pelaksanaannya, keberhasilan pementoran menurut Hopkins-Thompson (2000) tergantung pada faktor-faktor berikut ini.
1. Pendukung organisatoris: sejauh mana seorang pengawas sekolah mengamati dan memberi masukan bagi pelaksanaan program pementoran.
2. Outcome yang jelas: tujuan yang akan dicapai perlu dispesifikasikan ke dalam pengetahuan dan keterampilan yang akan dicapai.
3. Pemilihan dan pemasangan mentor dan protégé sangat menentukan. Seorang mentor adalah seseorang yang sangat terampil dalam berkomunikasi, mendengar, menganalisis, memberikan umpan balik dan bernegosiasi. Protégé juga seorang yang benar-benar bermotivasi untuk maju. Pemasangan mentor-protégé dapat merupakan hasil dari pilihan protégé itu sendiri, atau menurut persamaan minat yang dapat ditemukan di antara keduanya.
4. Mentor dan protégé perlu mendapatkan terlebih dahulu pelatihan sebelum pementoran dilaksanakan. Dalam pelatihan ini mentor akan mempelajari apa saja yang perlu dilakukan mentor, keterampilan apa yang harus dimilikinya, instrumen yang akan digunakan selama pelaksanaan program, rencana
kemajuan, strategi analisis perkembangan, dan refleksi. Kebutuhan program seperti norma-norma organisatoris, nilai-nilai dan harapan-harapan.
5. Kegiatan pementoran juga perlu difokuskan kepada protégé. Umpan balik yang diberikan oleh mentor perlu bermakna bagi protégé dan disampaikan dengan dijaga kerahasiaannya. Hal-hal yang dikritisi oleh seorang mentor adalah hal yang memang dapat diubah oleh seorang protégé.
KESIMPULAN
Pementoran tidak sama dengan bantuan atau penutoran yang dilakukan oleh sejawat karena pementoran adalah wahana pengembangan yang melibatkan seorang mentor yang memang memiliki pengalaman, pengaruh dan prestasi yang jauh lebih tinggi dari protégé yang pada umumnya masih belajar untuk menjadi kepala sekolah. Memang Program Kemitraan Kepala Sekolah pada dasarnya berakar dari program-program pementoran yang telah berlangsung di negara-negara lain, seperti Jepang, Inggris, Amerika, dan Australia. Namun, kedudukan dua orang kepala sekolah yang bermitra dalam Program Kemitraan, adalah lebih setara, dan lebih bersifat tutorial. Sekalipun kedudukan dua kepala sekolah tersebut setara, tetapi kualitas sekolah yang dipimpin keduanya berbeda. Pengimbasan terjadi dari sekolah yang unggul ke sekolah yang dipersiapkan menjadi unggul. Hal ini berbeda dari program pementoran yang biasanya berasal dari dua sekolah yang dalam banyak hal memiliki kesetaraan kualitas dan lingkungan, karena diharapkan terjadi pembelajaran yang lebih otentik.
Menurut hasil penelitian di negara lain program pementoran memberikan dampak positif bagi kepemimpinan seorang kepala sekolah, bukan saja bagi pemagangnya juga bagi mentornya dalam membangun keterampilan seorang praktisi di lapangan secara mendalam. Namun, program kemitraan hanya dapat berhasil bilamana ada perencanaan yang matang dan komitmen operasional yang tinggi.
Salah satu komponen dari perencanaan adalah menyiapkan model yang tepat menurut budaya dan sistem yang ada. Karena menurut kulturnya sedikit kemungkinan bagi kepala sekolah di Indonesia siap bermagang kepada kepala sekolah lainnya, maka model Program Kemitraan lebih sesuai daripada Program Pementoran. Selain itu, program pementoran memang biasa dirancang untuk seseorang yang mempersiapkan diri menjadi kepala sekolah, bukan untuk orang yang telah menjadi kepala sekolah, dan program pementoran semacam ini bersifat formal dan menjadi bagian dari program pendidikan master atau diploma yang diselenggarakan perguruan tinggi untuk persiapan seseorang menjadi kepala sekolah.
DAFTAR RUJUKAN
Capelluti, J. & Nye, K. 2004. The New-Principal Paradox. Principal Leadership, 5(4), p. 8.
Casavant, M.D. & S. Cherkowski, 2001. Effective leadership: bringing mentoringand creativity to the principalship. NASSP Bulletin, 85(624), pp. 71-81
Douglas, C.A. 1997. Formal mentoring programs in organizations. Greensboro, N,C.: Center for Creative Leadership.
Foster, L., 2002. Finding the fun in the principalship. Principal Leadership, 3(2), pp. 16-20,
Goens, G.A. 1998. Too many coxswains: leadership and principalship. NASSP Bulletin, 82(600), pp. 103-11.
Hansford, B. & L.C. Ehrich, 2006. The principalship: how significant is mentoring? Journal of Educational Administration, 44(1), pp.36-54.
Hickcox, E., 2002. Shaping the princialship in Manitoba, paper commissioned by the Manitoba Council for Leadership Education, available at: www.mce.ws/ld/hickcox_shaping_principalship.htm.
Hopkins-Thompson, P.A., 2000. Colleagues helping colleagus: mentoring and coaching. NA SSP Bulletin, 84 (617), pp. 29-36.
Knuth, R.K. & P.A. Banks, 2006. The Essential Leadership Model. NASSP Bulletin, 90(1), pp.4-19.
Lee, H.L. 2002. Learning beyond mentoring: the Singapore Experience. TheInternational Journal of Educational Management, 16(4/5), pp. 185-9.
Lee, JCK, A. Walker, & P. Bodycott, 2000. Pre-service primary teachers’ perceptions about principals in Hong Kong: implications for teacher and principal education. Asia-Pacific Journal of Teacher Education, 28(1), pp.53-68.
Petzko, V.N. 2004. Tailoring professional development for a better fit. Principal Leadership, 5(3), pp. 17-2 1.
Sergiovanni, T.J. 1991. The Principalship: a Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon.
Sullivan-Brown, K. 2002. The Missouri teachers’ academy: mentoring for organizational and personal transformation , in Kochan, D. (Ed), The Organisational and Human Dimensions of successful Mentoring Programs and Relationships, Information Age Publishing, Greenwich, T, pp. 141-51.
Olison, E. 2007. Quality of principal mentoring uneven, report says. Education Week, 26(33), pp. 5-6.
Weindling, D. & C. Dimmock, 2006. Sitting in the “hot seat”: new headteachers inthe UK. Journal of Educational Administration, 44(4), pp. 326-40.
Whitaker, K., 2006. Preparing future principals. Principal Leadership, 7(3), pp. 38- 42.

Tidak ada komentar: