KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH/MADRASAHYANG EFEKTIF
Surya DharmaDirektur Tenaga KependidikanHusaini UsmanUniversitas Negeri YogyakartaAbstrak
Kepemimpinan yang efektif menyebabkan sekolah yang efektif. Tidak ada sekolah/madrasah yang efektif tanpa kepemimpinan kepala sekolah/madrasah yang efektif pula. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan sumbangan konsep pemikiran tentang bagaimana mengefektifkan kepemimpinan kepala sekolah/madrasah. Teori tradisional yang menyatakan bahwa efektif dan tidak efektifnya kepemimpinan ditentukan oleh sifat-sifat telah direvisi oleh teori modern menyatakan bahwa kepemimpinan yang efektif ditentukan oleh fungsi leader, follower, dan situational. Untuk mengefektifkan kepemimpinan kepala sekolah/madrasah, maka kompetensi kepemimpinannya perlu ditingkatkan.
Kata kunci: kepemimpinan efektif, leader, follower, situational, kinerja, kepuasan, konflik.
PENDAHULUAN
Tujuan utama manajemen sekolah/madrasah adalah untuk mewujudkan sekolah/madrasah yang efektif. Sekolah/madrasah yang efektif ditentukan oleh kepemimpinan kepala sekolah/madrasah yang efektif pula karena sukses atau gagalnya suatu sekolah sangatlah ditentukan oleh kehandalan kepemimpinan kepalanya (Hechinger dalam Davis & Thomas, 1989). Pendapat Hechinger tersebut mendukung pendapat Townsent (1994) yang menyatakan:
Saya tidak pernah melihat sekolah yang bagus dipimpin oleh kepala sekolah yang buruk dan sekolah yang buruk biasanya dipimpin oleh kepala sekolah yang buruk pula. Saya juga menemukan sekolah yang gagal berubah menjadi sukses, sebaliknya sekolah yang sukses tiba-tiba menurun kualitasnya. Naik atau turunnya kualitas sekolah sangat tergantung kepada kualitas kepala sekolahnya.
Terdapat sejumlah teori tentang kepemimpinan kepala sekolah/madrasah yang efektif. Namun, secara garis besarnya dapat dibagi dua pendekatan yaitu: (1) teori sifat-sifat (traits theory approach), dan (2) fungsi Pemimpin (leader), pengikut (follower), dan situasi (situational) atau yang terkenal dengan rumus Kepemimpinan yang efektif (Ke) = fP,p,s. Masalahnya adalah, apakah kepemimpinan kepala sekolah/madrasah kita sudah efektif? Jika belum efektif, bagaimana mengefektifkan kepemimpinan kepala sekolah/madrasah kita?. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan sumbangan konsep tentang bagaimanakah menciptakan kepemimpinan kepala sekolah/madrasah yang efektif.
PEMBAHASAN
Sebelum membahas kepemimpinan yang efektif, terlebih dahulu diberikan pengertian kepemimpinan dan pengertian efektif.
Pengertian Kepemimpinan
Dalam kurun 95 tahun yang lalu, telah dilakukan lebih dari 3000 penelitian tentang kepemimpinan, hasilnya ribuan definisi kepemimpinan telah diungkapkan ahlinya. Namun, tidak satupun dari definisi kepemimpinan yang ditemukan itu memuaskan semua pihak (Schriesheim, et al., 1982 & Hughes, et al., 2002). Walaupun demikian, salah satu definisi kepemimpinan yang agak memuaskan semua pihak adalah definisi kepemimpinan menurut Hughes, et al. (2002) yang menyatakan kepemimpinan ialah proses mempengaruhi orang atau kelompok untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien. Definisi kepemimpinan menurut Hughes et al. relatif cukup memuaskan karena: (1) definisi tersebut relatif komprehensif yang ditandai oleh ada orang yang memimpin (leader) untuk berproses, ada orang yang dipimpin (follower) untuk berproses, dan ada tujuan yang efektif dan efisien yang ingin dicapai (situational); (2) variabelnya relatif unik yaitu menyangkut manusia dan lingkungannya; (3) variabelnya terpadu yaitu memadukan ketiga interaksi leader, follower, dan situational; (4) variabelnya kompleks yaitu tidak hanya searah (linier) tetapi juga multiarah; dan (5) definisinya relatif baru yaitu tahun 2002 atau masih di bawah delapan tahun. Menurut Jurnal Ilmu Pendidikan, teori relatif lama jika sudah delapan tahun ke atas
Sebagai konsekuensi menggunakan definisi Hughes, et al. (2002) tersebut, maka kepemimpinan kepala sekolah yang efektif adalah kepemimpinan yang mampu menjalankan fungsi leader, follower, dan situational secara efektif pula.
Pengertian Efektif
Efektif (hasil guna) ialah tingkat keberhasilan pencapaian tujuan (outcomes) dengan cara melakukan pekerjaan yang benar (do the right things). Efektif juga berarti mampu mencapai tujuan dengan baik. Jika efisiensi lebih memfokuskan diri pada proses penghematan, maka keefektifan (effectiveness) lebih memfokuskan diri pada output atau hasil yang diharapkan. Hasil yang diharapkan dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Efektif secara kuantitatif adalah perbandingan antara hasil yang diperoleh dibagi dengan target dikali 100 persen, sedangkan pengertian efektif secara kualitatif ialah tingkat kepuasan yang diperoleh atau tingkat pencapaian tujuan. Artinya, semakin puas semua pihak, semakin efektif kepemimpinannya. Sesuatu yang efisien belum tentu efektif dan sesuatu yang efektif belum tentu efisien. Efisien (daya guna) adalah proses penghematan sumber daya organisasi (man, money, material, machines, method, marketing, minutes, and information atau 7M+1I) dengan cara melakukan pekerjaan dengan benar (do things right) (Husaini Usman, 2008).
Keefektifan dapat dilihat dari tiga perspektif: (1) keefektifan individual (input), keefektifan kelompok (proses), dan (3) keefektifan organisasi (output). Keefetifan individual ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kemampuan (keterampilan), motivasi dan stres. Keefektifan kelompok ditentukan oleh kekompakan (cohesiveness), kepemimpinan, struktur, status, peran-peran, dan norma-norma. Keefektifan organisasi ditentukan oleh lingkungan, teknologi, pilihan strategik, struktur, proses, dan budaya (Gibson,2003).
Kepemimpinan yang Efektif
Kepemimpinan yang efektif menurut teori Hughes, et al. (2002) meliputi interaksi antar leader, follower, dan situation. Selanjutnya, Hughes, et al. (2002) menggambarkan ketiga interaksi tersebut seperti gambar di bawah ini.
.
Gambar 1: Kepemimpinan yang Efektif
Leader
Leader terbagi atas dua macam yaitu formal dan nonformal. Leader formal diangkat berdasarkan surat keputusan resmi tertulis oleh otoritas di atasnya, sedangkan leader nonformal diangkat oleh kelompok pendukungnya tanpa surat keputusan resmi tertulis. Kepala sekolah/madrasah termasuk leader formal karena ia diangkat dengan surat keputusan resmi dari bupati/walikota untuk sekolah/madrasah negeri dan diangkat oleh ketua yayasan untuk sekolah/madrasah swasta.
Menurut pendekatan teori sifat-sifat, yang membedakan pemimpin efektif dengan pemimpin yang tidak efektif adalah sifat-sifat yang dimiliki seorang leader. Pendekatan teori sifat-sifat merupakan teori kepemimpinan yang paling tua yang mendasari teori-teori berikutnya. Pendekatan teori sifat-sifat berpendapat bahwa pemimpin itu dilahirkan bukan diciptakan (leader are born, not built), artinya seseorang telah membawa bakat kepemimpinan sejak dilahirkan bukan didik atau dilatih. Oleh sebab itu, menurut pendekatan ini, pelatihan kepemimpinan tidak akan efektif atau hanya sia-sia belaka jika dilatihkan kepada mereka yang tidak mempunyai bakat sebagai pemimpin.
Sifat-sifat pemimpin yang efektif menurut Kouzes & Posner (2002) adalah sebagai berikut 20 yaitu: (1) jujur, (2) memandang jauh ke depan, (3) memberikan inspirasi, (4) cakap, (5) berpikiran adil, (6) mau memberi dukungan, (7) berpikiran luas, (8) cerdas, (9) lugas, (10) dapat diandalkan, (11) berani, (12) mau bekerja sama, (13) mempunyai imajinasi, (14) peduli, (15) bertekad kuat, (16) dewasa, (17) ambisius, (18) setia, (19) dapat mengendalikan diri, dan (20) mandiri. Keduapuluh sifat di atas berdasarkan penelitian Kouzes & Posner terhadap 20.000 pemimpin sebagai responden di empat benua. Dari ke-20 sifat-sifat pemimpin yang ditemukan, mayoritas responden memilih empat sifat teratas yang harus dimiliki pemimpin yang efektif yaitu: (1) jujur, (2) memandang jauh ke depan, (3) mampu memberikan inspirasi, dan (4) kompeten. Kejujuran menimbulkan kepercayaan (trust). The essence of leadership is trust (Esensi kepemimpinan adalah kepercayaan) (Robbins,2008). Hughes, et al. (2002) menyatakan bahwa kepribadian yang efektif ialah pemimpin yang memiliki sifat-sifat (traits) yang terdapat dalam lima faktor model kepribadian (Five Factor Model of Personality) disingkat FFM seperti Tabel 1.
Tabel 1. The Five Factor Model of Personality (PPM)
Five FactorDimensions
Traits
Behaviors/Items
Surgency
Dominance
I like having responsibility for other
Sosiability
I have a large group of friends.
Agreeableness
Emphaty
I am a sympathetic person
Friendly
I am usually in a good mood
Dependability
Organization
I usually make “to do” lists.
Credibility
I practice what I preach.
Conformity
I rarely get into trouble.
Achievement orientation
I am a high achiever.
Adjustment
Steadiness
I remain calm in pressure situations.
Self-acceptance
I take personal critism well.
Intelectance
I like traveling to foreign countries.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sejumlah sifat-sifat pemimpin banyak memiliki persamaan makna. Perbedaannya hanya terletak dalam istilah dan jumlahnya saja. Kelemahan pendekatan sifat-sifat ini adalah sampai sekarang belum satupun penelitian yang menggunakan pendekatan ini berhasil secara memuaskan. Karena selalu saja terjadi sifat-sifat kepemimpinan yang ditemukan tumpang tindih bahkan kontradiktif.
Pendekatan teori sifat-sifat ternyata tidak memuaskan sebagian orang sehingga direvisi oleh teori berikutnya yaitu teori perilaku (behavior). Teori perilaku menghasilkan gaya kepemimpinan berorientasi pada tugas dan berorientasi pada hubungan manusiawi. Kemudian berkembang menjadi gaya otoriter, demokratis, dan laize faire. Selanjutnya berkembang menjadi gaya direktif, suportif, partisipatif, dan orientasi pada pencapaian tujuan. Akhirnya, ketiga gaya ini berkembang menjadi empat gaya kepemimpinan Hersey & Blancard (1995) yaitu gaya telling, selling, participating, dan delegating.
Teori perilaku tersebut selanjutnya direvisi oleh teori situasional atau kontingensi. Menurut teori ini, tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang tepat diterapkan dalam setiap situasi melainkan tergantung kematangan pengikut dan situasinya (Hughes,et al. :2002).
Hughes et al. (2002) menyatakan, “Personality traits, personality type, intelligence, and emotional intelligence with leadership success. In general, all of these attributes can help a leader to influence a group toward the accomplishment
of its goals.” (Sifat-sifat kepribadian, tipe kepribadian, kecerdasan, dan kecerdasan emosional berhubungan dengan keberhasilan kepemimpinan. Secara umum, semua atribut dapat membantu seorang pemimpin mempengaruhi kelompok mencapai tujuannya). Kepemimpinan yang efektif memerlukan peningkatan kompetensi. Untuk meningkatkan kompetensi, Hughes, et al. (2002) menggambarkannya sebagai berikut.
Competencies
KnowledgeExperience
PersonalityTraits andPreference
Power,ValuesInterestsMotivates/GoalsIntelegence
Gambar 2. Membangun Blok Kompetensi
Menurut gambar di atas, jelaslah bahwa kompetensi kepemimpinan yang efektif dibangun atas sikap sebagai basisnya, kemudian baru pengetahuan dan keterampilan. Kepemimpinan kepala sekolah/madrasah akan efektif jika kepala sekolah/madrasah memiliki kompetensi konseptual (knowledge), profesional (exprience), kepribadian (personality traits), sosial (preference), supervisi (power), dan manajerial (interests, motivates/goals). Dengan menggunakan kekuasaan seorang memimpin dapat mempengaruhi pengikutnya. Seorang menjadi berkuasa karena satu atau lebih dari faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menjadi berkuasa. Faktor-faktor dimaksud adalah kekuasaan karena memiliki: keahlian (expert), informasi, koneksi (referent), kemampuan memberi penghargaan atau hadiah (uang) (reward), kharismatik, punya posisi untuk menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku (position and legitimate), dan kemampuan memaksa dengan kekerasan atau menghukum (coersive) (French & Raven, 1956). Di samping itu, kepemimpinan kepala sekolah/madrasah akan efektif jika ia menggunakan gaya kepemimpinan yang tepat dengan situasi pengikutnya, membina komunikasi yang efektif dengan atasannya, membina komunikasi yang efektif dengan sesama kepala sekolah/madrasah, dan membina komunikasi yang efektif dengan pengikutnya, memberdayakan pengikutnya, mendayagunakan pengikutnya, meningkatkan kinerja dirinya, meningkatkan kinerja pengikutnya, memberikan kepuasan kepada semua pihak, dan memberikan penghargaan dan sanksi yang seimbang kepada pengikutnya (Hughes, et al.: 2002).
Follower
Bagaimanapun hebatnya kualitas seorang pemimpin, jika tidak mendapat dukungan pengikut dan situasinya; maka kepemimpinannya akan jatuh. Sejarah menunjukkan bahwa banyak pemimpin yang kuat kemudian jatuh karena pengikutmya dan situasinya sudah tidak mendukung. Tiga hal yang paling erat hubungannya dengan follower ialah motivasi, kepuasan, dan kinerja (Hughes, et al. :2002). Hubungan antara motivasi dan kinerja terhadap kepemimpinan yang efektif digambarkan oleh Hughes, et al. :2002) seperti di bawah ini.
Gambar 3. Hubungan antara Kepuasan Kerja dan Kinerja terhadap Kepemimpinan
Banyak teori tentang yang menyangkut follower sebagai manusia, misalnya teori kematangan Argyris, teori tipe manusia A dan B, teori W, teori X dan Y dari McGregor, teori Z dari Ochi, teori Myers-Briggs Type Indicator (MBTI), pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya manusia, manajemen sumber daya manusia, manajemen kinerja, manajemen konflik, manajemen stres, teori kematangan Argyris, teori delegasi, dan teori Hersey & Blanchard. Namun, pada artikel ini dibatasi pada teori follower Hersey & Blanchard (1995). Menurut Hersey & Blanchard (1995), manusia termasuk follower terdiri atas empat tipe yaitu matang (mau dan mampu atau kompeten), agak matang (mau dan tidak mampu), agak matang (tidak mau dan mampu, dan belum matang (tidak mau dan tidak mampu) seperti gambar di bawah ini.
Gambar 4. Empat Tipe Follower
Follower yang paling diharapkan leader adalah follower yang mau dan mampu. Menyusul follower yang mau tapi tidak mampu. Kepala sekolah/madrasah yang efektif akan memilih follower yang mau diajak bekerja dulu daripada follower yang mampu tetapi tidak dapat diajak bekerja sama. Masalah tidak mampu bekerja dapat dirubah menjadi mampu bekerja setelah diberi kesempatan magang atau mengikuti pendidikan dan pelatihan.Yang penting asalkan ada kemauan karena di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Kemudian, follower yang tidak mau dan mampu. Follower yang tidak mau dapat diatasi dengan pemberian motivasi yang efektif. Dengan memberikan ganjaran yang dapat memotivasi. Terakhir, follower yang tidak mau dan tidak mampu. Follower yang demikian dapat diatasi dengan dilatih dan diberi motivasi.
Agar kepemimpinan kepala sekolah/madrasah efektif, maka Hersey & Blanchard (1995) merekomendasikan untuk menggunakan gaya kepemimpinan yang cocok dengan tingkat kematangan atau situasi followernya seperti gambar di bawah ini.
Gambar 5: Model Kepemimpinan Situasional Hersey & Blanchard
Pendekatan ini merevisi pendekatan perilaku yang ternyata tidak mampu menjelaskan kepemimpinan yang ideal. Pendekatan ini menggambarkan bahwa gaya yang digunakan tergantung dari pemimpinnya sendiri, dukungan pengikutnya, dan situasi yang kondusif. Para ahli sepakat bahwa Kepemimpinan yang efektif (Ke) itu ditentukan oleh Pemimpin (P), pengikut (p), dan situasi (s) situasi. Ketiganya berfungsi secara optimal sehingga rumusnya adalah Ke = f(P,p,s)
Pendekatan ini terkenal dengan: (1) model kontingensi Fiedler, (2) model rangkaian kesatuan kepemimpinan dari Tannenbaum & Schmidt, (3) model kontinum kepemimpinan Vroom & Yetton, (4) model kontingensi lima faktor Farris,
(5) model kepemimpinan dinamika kelompok Dorwin Cartwight & Alvin Zander,
(6) model kepemimpinan path goal Evans dan House, (7) model kepemimpinan vertical dyad linkage Graen, (8) model kepemimpinan Bass, dan 9) model kepemimpinan situasional Hersey & Blanchard. Dari kesembilan model kepemimpinan situasional ini, model Hersey & Blanchard merupakan model yang paling populer.
Empat gaya kepemimpinan yang dihasilkan adalah telling, selling, participating, dan delegating.
Ciri-ciri telling (pembertahuan): tinggi tugas dan rendah hubungan, pemimpin memberikan instruksi atau keterangan bagaimana cara mengerjakan, kapan harus selesai, di mana pekerjaan dilaksanakan dan pengawasan, komunikasi biasanya satu arah. Telling disebut juga gaya (Style) 1 atau disingkat S1.
Ciri-ciri selling (penawaran atau penjualan): tinggi tugas dan tinggi hubungan, pemimpin menwarkan gagasannya dan bawahan diberi kesempatan berkomentar, pemimpin masih banyak melakukan pengarahan, komunikasi sudah dua arah. Selling disebut juga S2.
Ciri-ciriparticipating (pelibatan bawahan): tinggi hubungan dan rendah tugas, pemimpin dan bawahan saling memberikan gagasan, pemimpin dan bawahan samasama membuat keputusan. Participating disebut juga S3.
Ciri-ciri delegating (pendelegasian): rendah hubungan dan rendah tugas, pemimpin melimpahkan wewenangnya kepada bawahan, bawahan mendapat wewenang membuat keputusan sendiri. Delegating disebut S4.
Tiga azas yang ditonjolkan oleh Ki Hajar Dewantara, tokoh pejuang dan pendidikan serta pahlawan nasional dirumuskan sebagai berikut. Ing Ngarsa Asung Tulada, artinya jika berada di muka ia memberikan teladan sepadan dengan telling. Ing Madya Mangun Karsa, artinya jika berada di tengah, ia mengembangkan tekad sepadan dengan selling dan participating. Tut Wuri Handayani, artinya jika dibelakang ia menjadi pendorong sepadan dengan delegating. Tut Wuri Handayani kemudian menjadi lambang Depdiknas hingga saat ini.
Cara menerapkan keempat gaya kepemimpinan tersebut adalah sebagai berikut.
S1: Berikan instruksi khusus dan perketat supervisi.
Siapkan dengan jelas dan rinci siapa, apa, kapan, di mana, dan
bagaimana melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
Jelaskan peran masing-masing.
Utamakan komunikasi satu arah.
Pemimpin membuat keputusan.
Ketatkan supervisi dan pertanggungjawaban.
Berikan instruksi tambahan untuk memperjelas.
Buat sesuatu menjadi sederhana dan khusus (Keep it simple and
specific = KISS).
S2: Siapkan dengan jelas dan rinci siapa, apa, kapan, di mana, dan bagaimana melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Jelaskan keputusan dan beri peluang untuk klarifikasi. Lakukan komunikasi dua arah (dialog).
Pemimpin membuat keputusan.
Jelaskan peran masing-masing
Tanyakan kepada bawahan untuk mengetahui tingkat kemampuannya.
Dorong untuk mengadakan sedikit meningkatkan.
S3: Banyak menerima masukan
Jadilah pendengar yang aktif
Bawahan membuat keputusan.
Komunikasi dua arah dan bawahan dilibatkan. Mendukung bawahan dalam mengambil resiko Memberi pujian atas keberhasilan tugas bawahan Membangun percaya diri.
S4: Delegasikan tugas sesuai kompetensi staf Beri gambaran umum tentang tugas Bawahan membuat keputuasn
Memantau kegiatan
Mendorong pencapaian tujuan (hasil)
Situational
Situasi teori Team Effectiveness Leadership Model temuan Ginnets yang selanjutnya dikembangkan oleh Nadler & Tushman (1997) yang disebut congruence model. Model ini memandang situasi sebagai sistem yang terdiri atas input, proses, dan output. Subsistem input, proses, dan output digambarkan Nadler & Tushman (1997) seperti Gambar 6.
Pekerjaa n
Organisasi
Informal
Orang
Organ isasi
Formal
Ouput Sistem Unit IndividualProses
Input Lingkungan Sumberdaya Sejarah
Gambar 6. Model Congruence (Nadler & Tushman,1997)
Situasi dalam hal ini menurut Hughes, et al. (2002) adalah lebih fokus pada orang yaitu meliputi bagaimana meningkatkan kinerja dan kepuasan kerja follower, mengatasi konflik dan stress, dan pemberian penghargaan terhadap follower. Robbins (2006) mengartikan kinerja adalah produk dari fungsi dari kemampuan dan motivasi. Jika diformulasikan Kinerja = f (Kemampuan X Motivasi). Pandangan Robbins tersebut menunjukkan bahwa kinerja dinyatakan sebagai suatu produk, yakni produk kerja dari orang maupun dari lembaga. Sejalan dengan pendapat Robbins tersebut, Hunsaker (2001) memberikan rumus sebagai berikut.
Performance = Ability x Motivation.
Ability = Aptitude x Training x Resources.
Motivation = Desire x Commitment.”
Ada lima faktor dalam penilaian kinerja yang populer yaitu: (1) kualitas pekerjaan, meliputi: akurasi, ketelitian, penampilan dan penerimaan keluaran; (2) kuantitas pekerjaan, meliputi: volume keluaran dan kontribusi; (3) supervisi yang diperlukan, meliputi: saran, arahan, dan perbaikan; (4) kehadiran meliputi: regulasi, dapat dipercaya/diandalkan dan ketepatan waktu; dan (5) konservasi, meliputi: pencegahan pemborosan, kerusakan dan pemeliharaan peralatan.
Tujuan penilaian kinerja adalah untuk: (1) lebih menjamin objektivitas dalam pembinaan calon pegawai dan pegawai berdasarkan sistem karir dan sistem prestasi kerja. Untuk maksud tersebut, pemerintah telah mengeluarkan pedoman penilaian kinerja kepala sekolah/madrasah; (2) memperoleh bahan-bahan pertimbangan objektif (masukan) dalam pembinaan calon pegawai dan pegawai dalam membuat kebijakan seperti promosi, demosi, transfer (mutasi), hukuman, pemecatan, bonus, job design seperti job enlargment, job enrichment, and job rotation; (3) memberi masukan untuk mengatasi masalah yang ada, misalnya kurang terampil atau perlu
keterampilan baru (untuk menentukan jenis pelatihan dan pengembangan karir calon pegawai dan pegawai); (4) mengukur validitas metode penilaian kinerja yang digunakan. Apakah skor penilaian berkorelasi dengan kinerja?; (5) mendiagnosa masalah-masalah organisasi; dan (6) umpan balik bagi calon pegawai dan pegawai, serta pimpinan.
Promosi ialah kenaikan jabatan ke posisi yang lebih tinggi diikuti tanggung jawab dan gaji yang lebih tinggi pula. Demosi ialah perpindahan pegawai dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya dengan tanggung jawab dan gaji yang lebih tinggi. Rotasi ialah perpindahan seorang pegawai secara sistematis dari satu posisi ke posisi lain di dalam organisasi. Tujuannya untuk mengurangi kejenuhan dan menambah pengalaman baru.
Manfaat penilaian kinerja adalah untuk: (1) meningkatnya objektivitas penilaian kinerja pegawai, (2) meningkatnya keefektifan penilaian kinerja pegawai, (3) meningkatnya kinerja pegawai, dan (4) mendapatkan bahan-bahan pertimbangan yang objektif dalam pembinaan pegawai tersebut baik berdasarkan sistem karir maupun prestasi.
Orang yang berwenang melakukan penilaian adalah atasan langsung. Sumber evaluasi kinerja meliputi atasan langsung, calon pegawai atau pegawai yang bersangkutan, teman sejawat, bawahan, dan pihak luar (pelanggan). Tantangan terhadap evaluasi kinerja adalah: menimbulkan permusuhan, memakan waktu, tenaga terampil, dan biaya. Penilaian kinerja dilaksanakan setiap tahun sekali yaitu paling lambat setiap akhir bulan Desember tahun bersangkutan. Komponen yang dinilai adalah setiap indikator kompetensi dari setiap dimensi kompetensi yang telah dimiliki pegawai yang bersangkutan.
Proses penilaian kinerja dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Mereviu standar kinerja.
2. Melakukan analisis jabatan.
3. Mengembangkan instrumen penilaian.
4. Memilih penilai.
5. Melatih penilai.
6. Mengukur kinerja.
7. Membandingkan kinerja aktual dengan standar.
8. Mengkaji hasil penilaian.
9. Memberikan hasil penilaian.
10. Mengaitkan imbalan dengan kinerja.
11. Membuat rencana-rencana pengembangan dengan menyepakati sasaransasaran dan standar-standar kinerja masa depan.
Herbert (1981) menyatakan, “Job satisfaction is a personal reaction, an emotional state” Pernyataan Herbert ini mengandung arti bahwa kepuasan kerja adalah suatu reaksi personal dan bersifat emosional. Oleh sebab itu, kepuasan kerja setiap orang tidaklah sama atau bersifat relatif. Puas bagi seseorang belum tentu puas bagi orang lainnya. Selanjutnya, sejalan dengan pendapat di atas, Robins menyatakan, Kajian terhadap bukti menunjukan empat faktor yang kondusif bagi munculnya level tinggi kepuasan kerja karyawan: Pekerjaan yang menantang, imbalan yang setimpal, kondisi kerja yang mendukung, dan mitra kerja yang mendukung.
Kepuasan kerja adalah sikap seseorang terhadap pekerjaannya yang mencerminkan pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam pekerjaannya serta harapan-harapannya terhadap pengalaman masa depan (Yukl,2004). Robbins (2006) mengartikan kepuasan kerja sebagai sikap umum individu terhadap pekerjaannya. Sikap individu bisa menyangkut puas dan tidak puas pada seluruh dimensi dari pekerjaannya.
Robbins (2006) mengingatkan terdapat dampak dari kepuasan maupun ketidakpuasan dari pekerja suatu organisasi atau lembaga terhadap kinerja pekerjanya. Dampak langsung dari kepuasan pekerja terhadap kinerja meliputi: (1) produktivitas pekerja tinggi, (2) kemangkiran pekerjanya tidak ada, (3) pekerjanya tetap setia tinggal di organisasi atau lembaganya, dan (4) pelanggan menjadi puas dan meningkat jumlahnya. Begitu sebaliknya, ketidakpuasan pekerjanya berdampak langsung terhadap kinerjanya, dampaknya meliputi: (1) produktivitas pekerjanya menjadi rendah, (2) pekerjanya banyak yang mangkir, (3) pekerjanya keluar dari organisasi atau lembaganya, dan (4) banyak pelanggan yang mengeluh dan ditinggalkan pelanggannya.
Bertolak dari pemahaman di atas, pihak sekolah/madrasah dituntut untuk secara bertahap dan terus menerus memenuhi seluruh kebutuhan pegawai agar kepuasan pegawai dapat diwujudkan di tempat kerjanya karena kepuasan pegawai akan berdampak langsung terhadap kinerjanya.
Dari beberapa pandangan dapat disimpulkan bahwa kepuasaan kerja adalah terpenuhinya seluruh kebutuhan pekerja dalam melaksanakan tugasnya waktu tertentu. Indikator-indikator untuk mengukur kepuasan kerja menurut Minnosota Satisfaction Questionare (MSQ) adalah seperti berikut.
1. Kebebasan memanfaatkan waktu luang.
2. Kebebasan bekerja secara mandiri.
3. Kebebasan berganti-ganti pekerjaan dari waktu ke waktu.
4. Kebebasan bergaul.
5. Gaya kepemimpinan atasan langsung.
6. Kompetensi pengawas.
7. Tugas yang diterima.
8. Kesempatan bertindak terhadap orang lain.
9. Persiapan kerja
10. Kebebasan memerintah.
11. Kebebasan memanfaatkan kemampuan.
12. Kebebasan menerapkan peraturan yang berlaku.
13. Gaji yang diterima.
14. Kesempatan mengembangkan karir.
15. Kebebasan mengambil keputusan.
16. Kesempatan menggunakan metode kerja.
17. Kondisi kerja yang mendukung.
18. Kerja sama.
19. Penghargaan terhadap prestasi.
20. Perasaan pekerja terhadap prestasinya (Weiss, et al, 1989).
Hughes, et al. (2002) memberikan contoh tipe butir pernyataan tentang kepuasan kerja seperti pada tabel berikut.
Tabel 2.Tipe Butir Pertanyaan Kepuasan Kerja
No.
Tipe Butir Pernyataan
1.
Secara menyeluruh, saya puas dengan pekerjaan saya.
2.
Saya merasa bahwa beban kerja saya di sekolah relatif sama dengan temanteman.
3.
Pengawas sekolah saya mengatasi konflik dengan baik.
4.
Gaji dan fasilitas yang saya terima setara dengan lembaga lain yang sederajat.
5.
Di sekolah ini merupakan masa depan nyata bagi setiap orang untuk menerapkan keahliannya.
6.
Selain kinerja terdapat ganjaran lain di sekolah saya.
7.
Warga sekolah saya peduli terhadap kesehatan fisik dan nonfisik.
8.
Secara umum, saya puas dengan hidup saya dan masa depan saya.
Orang yang dinilai kepuasan kerjanya diminta mengisi secara jujur dengan memberi bobot pada setiap pernyataan. Bobot 1 = sangat tidak puas sampai bobot 5 = sangat puas. Kemudian dijumlahkan. Jika bobot seseorang = 40 artinya sangat puas. Sebaliknya, jika bobot seseorang = 8 artinya sangat tidak puas.
Porter & Lawler menggambarkan keterkaitan antara kinerja dan ganjaran dengan kepuasan kerja seperti gambar di bawah ini.
Nilai
ga nja ran
Kemampua n
Ga nja ran
Perasaan keadilan ga nja ran
Usaha
Kinerja
Kepuasan
Merasa berusahaPeluang
ga nja ran
Persepsi peran
Ga nja ran
Gambar 7. Model Motivasi Porter & Lawler (1968)
Dari gambar model motivasi Porter dan Lawler di atas, dapat diketahui bahwa kinerja ditentukan oleh kemampuan, usaha (karena adanya motivasi), dan persepsi. Selanjutnya, kinerja atau prestasi menentukan ganjaran atau upah yang akan diterima seseorang. Jadi, pegawai sebaiknya jangan dulu mengharapkan gaji dan insentif yang tinggi sebelum menunjukkan kinerja yang tinggi dulu. Tunjukkan prestasi dulu, rezeki akan datang dengan sendirinya. Kalau sudah berprestasi, bukan orang yang bersangkutan mencari pekerjaan, melainkan pekerjaan mencari orang yang tepat. Akhirnya, ganjaran menentukan kepuasan. Semakin sesuai ganjaran dengan yang diharapkan, semakin tinggi tingkat kepuasan penerimanya. Sebaliknya, ganjaran yang tidak sesuai dengan yang diharapkan dapat menimbulkan ketidakpuasan. Oleh sebab itu, kepuasan menentukan nilai ganjaran.
Konflik ialah pertentangan antara seseorang dengan dirinya, seseorang dengan seseorang, seseorang dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Konflik dapat berdampak positif dan negatif. Konflik berdampak positif dapat menimbulkan
motif berprestasi. Sebaliknya, konflik berdampak negatif dapat menimbulkan frustrasi. Frustrasi yang berkepanjangan menyebabkan stres.
Hunsaker (2002) memberikan lima strategi untuk mengatasi konflik dalam lima kemungkinan yaitu: (1) jika kerja sama rendah dan perhatian terhadap kepuasan diri sendiri tinggi serta perhatian terhadap kepuasan orang lain rendah, maka gunakan persaingan (competing) atau forcing;, (2) jika kerja sama rendah dan perhatian terhadap kepuasan diri sendiri rendah serta perhatian terhadap kepuasan orang lain rendah, maka gunakan penghindaran (avoiding), (3) jika kerja sama dan perhatian terhadap kepuasan diri dan orang lain seimbang (cukup), maka gunakan kompromi (compromising), (4) jika kerja sama tinggi dan perhatian terhadap kepuasan diri sendiri dan orang lain tinggi, maka gunakan kolaboratif (collaborating), dan (5) jika kerja sama tinggi dan perhatian terhadap kepuasan diri sendiri rendah serta perhatian terhadap kepuasan orang lain tinggi, maka gunakan pengakomodasian (accomodating). Selanjutnya Hunsaker (2002) menggambarkan strategi konflik seperti gambar di bawah ini.
Unassertive
Assertive
Uncoorperative
Person’s Desire to Satisfy Concern of others
Gambar 8. Strategi Mengatasi Konflik
Avoiding
Competing
Compromising
Collaborating
Accommodating
Coorperative
Dinsmore (1990) memberikan cara mengurangi konflik seperti tabel berikut ini.
Tabel 3.Cara Mengurangi Konflik
Meminimalkan konflik dengan atasanTempatkan dirinya sebagai “sepatu bos”
· Anaalisis pola pikir boss
· Jangan menyampaikan masalah kepada bos tetapi pemecahan masalahnya.
· Dengarkan dengan baik informasi bos untuk rencana danpengembangan
· B erkonsultasi dengan bosterhadap kebijakan, prosedur, dan kriteria.
· Jangan memaksa boss
Meminimalkan konflik dengan teman selevel.
· Bantu kelompok mencapai tujuannya.
· Bangun iklim kerjasama
· Beri catatan kemajuan untuk membantu anda dari kelompok
· Usahakan saluran komunikasi informal.
· Coba mereka dengan percobaan yang Anda inginkan.
Meminimalkan konflik dengan bawahan
· Temukan profesional dan tujuan personal anggota tim.
· Jelaskan harapan Anda
· Definisikan ukuran kontrol
· Kembangkan toleransi kegagalan untuk membangkitkan kreativitas.
· Beri umpan balik positif.
· Beri kesempatan dan penghargaan.
Meminimalkan konflik dengan pelanggan
· Dorong pelanggan menujuyang mereka inginkan.
· Pelihara kontak tertutupdengan pelanggan.
· Hindari kejutan
· Siaplah melayani setiap level
· Kembangkan hubungan informal sebaik mungkin.
· Laksanakan proyek pertemuan reguler.
Kunci untuk mengelola stres para pekerja adalah komunikasi. Untuk mengembangkan komunikasi yang efektif diperlukan tindakan-tindakan sebagai berikut.
1. Membangun hubungan baik; peran manajer adalah memindahkan halangan komunikasi, juga halangan lingkungan fisik. Tiga elemen dalam proses komunikasi (anda sendiri, orang lain, dan lingkungan) perlu diyakinkan dalam kondisi kesesuaian.
2. Mendengarkan dengan aktif tidak sekedar memberi ruang bagi pekerja untuk membeberkan ceritanya, tetapi ada beberapa teknik yang dapat digunakan,
misalnya: (a)menggunakan keheningan (b) menggunakan pertanyaan terbuka, (c) melakukan refleksi, (d) menyatakan dengan kata-kata sendiri, (e) berkonsentrasi,(f) menggali pilihan, dan (g) membuat ringkasan.
3. Respons yang kemungkinan diberikan pekerja pada pertemuan awal ini bisa berupa: menolak, menerima, ataupun menyerang. Apapun respons mereka, perlu ditanggapi secara efektif.
Menurut Maslow (1968), terdapat lima hirarki kebutuhan manusia. Kebutuhan pertama yang paling rendah adalah kebutuhan fisiologikal menyusul rasa aman, ingin dihargai, dan terakhir yang paling tinggi ingin mengaktualisasikan dirinya. Penghargaan tidak selalu dalam bentuk uang atau barang. Contoh kebutuhan ini antara lain adalah: ingin ada ucapan terima kasih, ucapan selamat jika berjumpa menunjukkan rasa hormat, mendapatkan tanda penghargaan, dan memberi peluang atau fasilitas kemudahan lainnya, menjadi legislatif, menjadi pejabat (mendapat kekuasaan), menjadi pahlawan, dan mendapat ijazah sekolah, status simbul, promosi. Untuk memenuhi kebutuhan ini, manusia biasanya berdoa minta ditinggikan derajatnya melalui sholat tahajud dan berusaha untuk memenuhinya dengan cara jika ingin dihormati orang lain, maka kita harus menghormati orang lain.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Kepemimpinan kepala sekolah/madrasah yang efektif mempengaruhi sekolah/madrasah yang efektif. Sebagai leader, kepala sekolah/madrasah yang efektif memiliki sifat-sifat pemimpin yang efektif. Untuk mewujudkan kepemimpinan kepala sekolah/madrasah yang efektif diperlukan dukungan kompetensi kepala sekolah/madrasah sebagai leader, dukungan follower, dan dukungan situational. Kepala sekolah/madrasah yang efektif menggunakan gaya kepemimpinannya sesuai dengan tingkat kematangan followernya agar dapat memberdayakan dan mendayagunakan followernya. Kepala sekolah/madrasah yang efektif juga memperhatikan situasi yang dihadapi sekolah/madrasahnya agar selalu tercipta iklim dan budaya sekolah/madrasah yang kondusif.
Rekomendasi
Kepala sekolah/madrasah diharapkan senantiasa membiasakan diri atau berlatih sehingga memiliki sifat-sifat pemimpin yang efektif. Untuk menjadi kepala sekolah/madrasah yang efektif, maka kepala sekolah/madrasah harus mengetahui mengetahui tingkat kematangan followernya sehingga mampu menerapkan gaya
kepemimpinan yang tepat. Kepala sekolah/madrasah hendaknya kompeten mengatasi situasi yang terjadi di sekolah/madrasahnya. Pengawas sekolah/madrasah dalam meningkatkan kompetensi kepemimpinan kepala sekolah/madrasah yang efektif dengan memperhatikan kepala sekolah/madrasah sebagai leader, guru dan tenaga kependidikan dan siswa sebagai follower, dan lingkungan internal dan eksternal sekolah/madrasah sebagai situation.
DAFTAR RUJUKAN
Davis, G.A. & Thomas, M.A. 1989. Effective Schools and Effective Teachers. Massachusetts: Ally and Bacon.
Dinsmore, P. 1990. Human factors in Project Management. New York: AMACOM.
French, J.R.P. & Raven, B.H. 1956. The Bases of Social Power. In Cartwright, D (Editor). Study of Social Power. Ann Arbor, MI: Institute for Social Research,pp. 150.
Gibson, J.L., Ivancevich,J.M., Donnelly,J.H., & Konopaske, R. 2003. Organizations Behavior, Structure, Processes. 11th Edition. New York: McGraw-Hill Irwin.
Hersey, P. & Blanchard, P. 1995. Management of Organizational Behavior Utilizing Human Resources. 9th Edition. London: Prentice-Hall International Editions.
Hughes, R.L., Ginnett, R.C., & Curphy, G.J. 2002. Leadership Encahncing theLessons of Experiences. Forth Edition. New York: McGraw Hill Irwin.
Hunsaker, P.L.2002.Training in Management Skill. Upper Sadle River,New Jersey: Prentice Hall.
Kouzes, J, M. & Posner, B.Z, 2000. The Leadership Challenge. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Lunenburg, F.C., & Orstein, A.C. (2002) .Educational Admiistration Concepts and Pratices. 4th Edition. London: Wadsworth.
Maslow, A.H. 1968. Motivation and Personality. New York: Addison-Wesley.
Nadler, D. & Tushman, M. 1997. Competing by Design: The Power ofOrganizational Architecture. Oxford: Oxford University Press, Inc.
Porter, L.W. & Lawler III,E.E. 1968. Managerial Attitude and Performance. Homewood: The Dorsey Press & Richard D.Irwin,Inc.
Robbins, S.P. 2008. The Truth about Managing People Second Edition. Upper Sadle River, New Jersey: Pearson Educaion, Inc.
Schriesheim, C.A., Tolliver, J.M., & Behling, O.C. 1991. Teori Kepemimpinan: Beberapa Implikasi Bagi Manajer, dalam Kepemimpinan (Diterjemahkan: Susanto Budidharmo). Jakarta: PT. Gramedia.
Yukl,G. 2004. Leadership in Organization. London: Prentice hall International.
Jumat, 21 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
posting nya sangat membantu ..thks
Posting Komentar